Jumat, 26 September 2008

When I feel that's I'm the lucky one

Selama proses minggu pertama ada di RSJ, rasanya cukup membosankan dan masih banget penuh dengan perasaan "aku pengen pulang". Semua dirasain karena makanan yang ada di sana kurang bisa mewakili keinginan makanku, tempat tidur bertingkat yang lebih mirip kamar di panti asuhan, udara panas yang mendominasi kota Magelang yang katanya dingin, bahkan sampe rasa kesulitan membuang isi perut setiap harinya.
Hari demi hari mulai kerasa ada persaingan antara satu teman dan teman yang lain. Cukup menyulitkan, tapi aku tahu kalo ini bakalan kejadian, walaupun belum ada pertengkaran sengit, tapi yang namanya sikut menyikut udah mulai terasa.
Pembagian bangsal untuk kelompok dimana satu bangsal dipegang sama dua orang udah mulai diundi. Kebetulan, supervisorku megang bangsal cowok aja. Setelah melakukan undian, aku dan temanku mendapatkan bangsal P15 yang berarti letaknya paling ujung karena merupakan bangsal paling akhir. Sempet khawatir juga kalau bangsal P15 khusus untuk lansia, walaupun itu semua tidak terbukti.

*
Baru pas hari ketiga kami sekelompok sempet soan ke bangsal P15 dengan rasa berat hati setelah seharian lelah ikut tentiran seorang Psikiater yang nggak tepat waktu. Perkenalan dilakukan sama seorang temen yang kebetulan nggak kedapetan bangsal itu. Jujur aja, bangsal itu adalah bangsal yang bisa dibilang paling jelek diantara bangsal lain. Tetapi, menurut temen-temen, bangsal-ku adalah satu-satunya bangsal yang kepala perawatnya paling ganteng. Haha... Lucu ya, padahal dia merupakan satu-satunya kepala bangsal yang kurang bersahabat.

*
Hari kemudiannya, aku bersama temanku yang memang dapet jatah di bangsal P15 dengan nekat mendatangi bangsal dengan perasaan dag-dig-dug... Rencananya kami bedua pengen banget liat-liat status pasien dan mengakrabkan diri sama para perawat.
Begitu masuk ke dalam bangsal dan menemui perawat, aku menemui salah satu perawat dan menanyakan soal status pasien. Setelah itu, aku ma temenku kenalan sama perawat yang.... ihik, ihik... ganteng-ganteng, masih muda-muda, dan mereka pun cukup baik dan akrab. Bahkan, kocaknya aku sempet ngegodain beberapa perawat cowok disana saat kita ngobrol rame-rame. Oia, bahkan temenku punya seorang pasien idola yang menurutnya cukup ganteng untuk jadi pasien. Aku pun juga punya pasien idola yang cukup ramah dan udah bisa bersosialisasi dengan baik yang syukurnya keesokan harinya dia udah dijemput pulang sama keluarganya.

*
Hari terakhir di RSJ, aku ma temenku ke bangsal P15 lagi untuk ngelanjutin tes grafis dan observasi-wawancara. Lucunya, ketemu lagi sama perawat baru yang ganteng (dia incaranku!!!) yang sayangnya sebentar lagi udah mo nikah dan udah make cincin di jari manis tangan kirinya. 

*
Intinya sih, kayaknya sesulit apapun nanti proses yang aku laluin di sana, aku bisa lari ke bangsal P15 menikmati ngobrol dan bercanda sama perawat yang ganteng-ganteng... Ahahahaha...

First Day

Jam 7 pagi lebih sedikit, temanku udah jemput di depan kost bersama seorang temanku yang lainnya. Aku sudah siap dengan peralatan tempurku, yaitu sebuah backpack pulang kampung dengan isi perabotan untuk 5 hari ke depan, sebuah tas karung berisi buku2 psikologi segede2 gaban, tas kecil berisi gantungan baju dan makanan2, serta sebuah tas ransel khusus untuk laptop. Aku dan teman-teman pun berangkat ke RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang dengan sejuta perasaan gundah gulana.
Setibanya di RSJ, sebenernya aku langsung pengen balik aja ke Jogja dan nggak mo lagi ngelanjutin praktek disana yang sebenernya gak lama-lama banget karena cuman 20 hari. Apa yang aku rasain nggak cuman perasaan takut nggak bisa ngadepin orang-orang yang dianggep sakit jiwa itu tapi juga takut banget ngadepin semua proses yang bakalan kejadian di sana. Yah, bayangin aja tinggal sama 14 orang temen-temen lain dalam satu rumah selama 20 hari... 
Hari pertama, isinya cuman orientasi tempat aja sama seorang psikolog senior di sana yang kebetulan bukanlah supervisorku. Aku ma temen-temen diajakin keliling ke banyak bangsal, baik bangsal W (wanita) dan bangsal P (Pria), walaupun nggak semuanya kita masukin, tapi keliling beberapa bangsal aja udah bikin kaki rasanya pegel banget. Kami dikenalin ke beberapa gerombolan perawat, yang secara umum mereka semua cukup baik dan bersahabat. Tapi sayangnya, bangsal yang bakal jadi daerah jajahan kelompokku baru satu aja yang kita datengin karena waktu tidak memungkinkan lagi.
Selama keliling itu, ada beberapa hal yang menarik, dimana beberapa diantara aku ma temen-temen masih ngerasa takut kalo musti jalan di sekitar orang sakit jiwa, karena takut dicolek, ditanyain, atau bahkan diikutin. 
Aku sih justru lebih banyak ngerasa sedih dan kasian ngeliat beberapa pasien, karena aku berpikir bahwa mereka nggak seharusnya di situ, dan aku jadi bersukur sama ke-normal-an aku saat ini. Rasanya jadi bahagia banget. Padahal sih nggak jarang juga aku ikut ketawa saat denger cerita-cerita pasien. Salah satu pasien sempat ada yang bercerita :
Pasien : "Mbak kenalan dong..." dia melihat ke arahku dan teman-teman dengan wajah sumringahnya.
Aku : menyebutkan namaku sambil tersenyum, "Nama Mas siapa?" tanyaku.
Pasien : "Guntur Wirawan Kardikusuma, bla, bla, bla"
Aku : "Wah, namanya bagus yah... panjang banget... Panggilannya siapa, Mas?"
Pasien : "Guntur, Mbak..." dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mbak, saya ini tahanan politik pendidikan. Saya sempet di penjara loh Mbak. Saya ini masih keluarganya Mbak Tutut, jadi saya pengen banget ketemu sama dia. Saya ini tahanan loh Mbak. Saya ini pemberontak tadinya." Ucapnya sambil setengah berbisik.
Aku : Mengangguk-angguk sok ngerti padahal bingung.
Pasien : "Mbak jangan bilang siapa-siapa ya... Saya Guntur, Mbak. Saya ini.... " Ia lantas mengangkat tangannya dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya di udara seolah-olah sedang menulis sesuatu. "Sst... Rahasia ya, Mbak." 
Aku : Mengangguk-angguk, lalu menutup mulutku rapat-rapat dan seolah menguncinya dengan gembok.

*
Di Unit Perawatan Intensif, aku ma temen-temen sempet ngeliat proses ECT (Electroconvulsive Therapy). Katanya sih banyak yang gak tahan ngeliatnya, tapi nggak tau aku justru penasaran banget kayak apa bentuknya. Ternyata...
Pasien (seorang laki-laki) diikat kaki dan tangannya dengan tali dan sabuk. Lalu, sekujur tubuhnya dipegangi oleh beberapa orang setelah sebelumnya ditutupi selimut. Setelah itu, sebuah mesin khusus dinyalakan dan ada dua buah kabel khusus yang ditempelkan di kepalanya baik sebelah kanan maupun sebelah kiri. Seketika, kepalanya tergeleng-geleng, lalu kabel pun di lepaskan. Kemudian, tiba-tiba badannya mengejang beberapa kali dan pasien berteriak mengaduh tak terkendali. Tubuhnya yang mengejang harus dipegangi, karena katanya akan ada kemungkinan ia mengejang tak terkendali.
Aku jadi berpikir, betapa tidak manusiawinya keadaan itu. Seorang manusia disetrum oleh sebuah alat, disaksikan oleh banyak sekali perawat, dokter muda, dan para calon psikolog. Lalu, seorang perawat menjelaskan proses yang terjadi kepada semua penonton. Dan aku saat itu juga berada dalam keadaan itu, menjadi penonton. Dia (si orang sakit jiwa itu) menjadi objek, layaknya seperti tikus, disaksikan banyak orang. Dan yang menyedihkan, aku sempat berkenalan dengan objek, Dimas, si penderita waham kebesaran. Aku menjadi seorang yang tak beda dari orang lain yang memanfaatkannya.

Jumat, 19 September 2008

pertanyaan

Rasanya asing ketika menatapnya di gambar itu
Seperti tidak pernah mengenalnya sama sekali
Apakah aku mati rasa?

Bila tak lagi ada luka,
tak ada lagi bahagia yang teringat,
tak ada lagi amarah yang terbersit

Lalu, apakah aku salah bila dia sudah terlupa?

Pertanyaan sebenarnya adalah...
Apakah aku sudah benar menghilangkannya dari hati
atau semua terjadi karena aku sebenarnya sangat membencinya?

Maka, aku tak mengerti atas rasaku sendiri...

Rabu, 17 September 2008

semua yang pernah terjadi
indah antara kita
berakhir sudah
terlalu cepat begitu saja
saat kau berpaling dariku
kau tinggalkan, kau hancurkan, hatiku merasa
bukan hari ini harusnya kau kembali
terlalu lama engkau menyadari
karena hari ini tak akan ada lagi

tersisa penyesalan dalam hatiku, selamanya...

(Cokelat-Bukan Hari Ini)


Happy Birthday
wish u all d best

Sebuah kalimat ucapan yang entah apakah masih pantas untuk aku ucapkan untuk manusia seperti dia. Di saat ini, ketika hari yang seharusnya membahagiakan menyambanginya dan memaksanya untuk bisa memulai hari dengan lebih baik lagi di bertambahnya usia. Aku masih berdoa agar ia memperoleh segala kebaikan dalam kehidupannya esok, tanpa ada aku bahkan tak ada lagi bayanganku. Semua sudah berlalu, mungkin pergi bersama angin, menghilangkan jejak atas perasaan yang harusnya ada dalam hatiku, menjadikannya semu yang tak bermakna, membuat semua yang pernah berlalu menjadi hampa. Terlalu cepat dirinya datang dan terlalu cepat dia melarikan diri dari semua rasa yang ia ciptakan sendiri. Mungkin ia menyadari akan kata yang ia ucapkan, menyesali semua hal yang telah terjadi, atau merindukan segala indahyang ada tiap detik kebersamaan. Aku tak mampu berspekulasi, aku terlalu lelah merasakan absurditas ini. Penat. Sudah terlampau berat bagiku mengumpulkan kepingan-kepingan luka ini, hingga aku kesulitan untuk mengingatnya. Sesungguhnya, sebuah persembahan untuknya sudah ada di sini, terlanjur kupersiapkan semua menyambut datangnya hari ini. Tetapi, aku tak mau lagi menyentuhnya dan merasakan lagi sayatan itu. Biar saja ia menjejaki hari ini tanpaku, merenungi segala hal yang telah dilakukannya seumur hidup agar ia bisa lebih menghargai hidup dan supaya bisa lebih menghargai mati. Mati akan rasa yang ia miliki.
Selamat berbahagia dalam rasamu, dalam asamu, merasakan luka itu. Lalu, biarkan aku tertawa sambil menangis di sini.

Kamis, 04 September 2008

hari ketiga

Semua rasanya udah jauh lebih baik. Lebih cepat dari perkiraanku. Mungkin semua menjadi begitu mudah karena memang dia tidak sebaik itu hingga harus aku pikirkan, tetapi rasanya begitu sulit melepaskan kebencian ini. Sulit sekali mengikhlaskan kekejaman yang telah dia lakukan padaku.

Setelah semuanya berakhir, dia menjadi sering muncul di tempat yang menjadi "tragedi" itu terjadi. Itu menyakitkan, namun aku belum mampu menghapusnya.

Semoga saja semuanya akan bisa jauh lebih baik lagi. Membiarkannya pergi dengan segala sikapnya yang ternyata memuakkan itu. Lalu bisa menjalani hari dengan lebih semangat, mengabaikan semua perasaan, menjejaki hari sendirian dengan penuh gejolak asa.

Selasa, 02 September 2008

hari kedua

Ini adalah hari kedua aku mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan hatiku dan menjadikan diriku menjadi aku lagi. Masih ada perasaan sakit tersisa, perih, namun susah sekali meluapkannya. Aku masih bisa merasakan luka itu, luka yang dengan mudahnya ia torehkan setelah sejuta harap dijajakannya. Satu-satunya yang bisa kukatakan adalah kecewa.
Aku sedang membiarkan diriku sendirian di ruang ini tanpa siapa-siapa hanya ditemani aku, aku, dan aku saja. Aku sedang tak ingin yang lain. Sesaat saja. Karena ternyata masih banyak mimpi yang harus kukejar di depan sana, aku harus segera berlari mengejar ketinggalanku, sebentar lagi, aku butuh beberapa jam saja, semoga.
Keputusasaan memang tak akan menghinggapiku. Aku hanya kecewa, aku kesulitan menangis, tapi mampu merasakan setiap sakit yang ia torehkan. Setiap kata yang kurasa hanya mementingkan dirinya sendiri dan itu yang membuatku marah.
Ketika semua kata dan laku yang pernah ada pada dirinya, semuanya kini membuatku memahami itu. Rasanya, ia memang tidak pernah punya cinta untukku, tidak pernah punya rasa, dia hanya melihatku, bukan memahamiku. Padahal, satu bulan itu aku mencoba sekuat tenagaku.
Bila dia memang baik, kuharap ia rasakan semua ini. Kumohon dia pahami semua kesalahannya. Sedikit saja. Hingga ia tidak akan merasa lebih baik dengan apa yang telah ia lakukan padaku.
Bukan aku tidak inginkan dia lebih bahagia, tetapi aku juga ingin ia menjadi manusia yang lebih baik. Setidaknya, satu hal saja... Dia akan mendapatkan semua rasa yang kurasakan ini, suatu saat nanti.
Akan lebih baik bila ia membaca ini atau tidak akan lebih baik bila ia membacanya? Aku mohon... siapapun kalian, beritahu ini pada dia. Biar dia membacanya, biar ia merasakan kesalahannya sendiri, tanpa aku harus menamparnya. Biarlah dia tahu, bahwa cara ini benar-benar membuatku terluka. Hingga penyesalan itu sekarang terasa, benar-benar.

Senin, 01 September 2008

sudah

Diantara gegap gempitanya rasa di setiap diri menanti kejadian setahun sekali dalam sebulan untuk menunggu bisa menjadi manusia yang kembali suci, aku merasakan seketika hatiku menghitam dan jantungku tak lagi berdetak. Sulit ketika aku mencoba untuk bertahan dari semua kehancuran yang berkeping-keping, karena semua sudah terlanjur terjadi. Sesaat, tapi semua begitu terasa menyesakkan.
Semua memang tidak bisa dipaksakan karena aku bukan siapa-siapa yang patut untuk berteriak memohon di atas kakinya. Aku hanya seseorang yang sangat kecewa dengan semua yang terjadi, atas semua pilihan yang aku buat sendiri. Atas segala sikap yang sejak kecil telah terbentuk atas namanya.
Aku akan kembali masuk saja. Menutup pintu itu dan menguncinya rapat-rapat, meletakkan kunci itu di tempat yang sama sekali tidak ku tahu. Tak lagi membuka jendelanya, atau mengintip lagi ke luar menanti ada yang datang. Aku akan membuat rumah itu ada, tanpa cat berwarna yang mencolok, tanpa orang tahu ada kehidupan di sana. Aku hanya akan membiarkannya teronggok di sana. Mungkin dengan cibiran orang yang beralu-lalang.