Selasa, 03 November 2009

Perempuan Paling Berarti Dalam Hidup

Pada ruangan 4 X 5 meter ini aku termenung dalam kegelapan menuju lelap. Sendirian seperti setiap malam biasanya. Menggantungkan bayang tentang tempat nun jauh di sana yang selalu hangat memeluk kala tubuh mulai merapuh. Rumah. Satu-satunya tempat tujuanku untuk kembali setelah terbang melambung ke langit luas mengerikan. Sekarang, aku sedang jauh dari tempat terindah yang menjadi istana termegah dalam ruang hatiku. Aku sungguh merindu setiap jiwa yang ada di dalamnya, dimana mereka selalu terucap dalam setiap hembusan nafasku dan menjadi bagian dari doa yang tak pernah putus.

Kini, aku akan bercerita tentang salah seorang yang ada di dalamnya. Perempuan yang paling berarti dalam hidupku, mungkin tanpa pernah kusadari. Namun, aku tak pernah berhenti untuk selalu menyebut namanya dalam setiap kegundahan yang mencoba menghancurkanku. Ibu. Dia yang selalu menjadi musuh terbaikku sekaligus kekuatan terbesarku untuk merenggut mimpi-mimpi yang masih tergantung. Sosok yang selalu kurindukan dalam setiap kali kepulanganku, karena aku ingin sekali selalu mendekapnya erat dan tak ingin kulepaskan.

Kata banyak orang, melihatku seperti melihat ibuku. Tak bercela wajahku menyerupainya, tetapi bagiku dia jauh lebih cantik dan sempurna daripada aku. Menjadi anaknya dan bagian dari keluarganya adalah satu-satunya kenikmatan yang tak kan pernah berhenti untuk kusyukuri. Aku sungguh terlena menjadi anak yang pernah lahir dari rahimnya. Walaupun, dia tak pernah mau bercerita jelas tentang caranya melahirkanku ke dunia ini. Aku paham benar, mungkin aku terlalu merepotkan waktu itu, tidak… bahkan sepertinya hingga sekarang aku terus membuatnya tak bisa melangkah dengan tenang.

Luasnya langit di angkasa menggambarkan betapa besarnya cintaku padanya. Tulus, tak berbatas, walau terkadang mungkin aku lengah mengabaikan kebaikannya. Rasanya aku tak akan pernah berhenti memohon maaf dan bersujud di kakinya, karena aku terlalu banyak menyakiti hatinya, terlalu banyak membuatnya memikirkanku, terlalu banyak membiarkannya kelelahan menjalani hari, dan terlalu banyak melupakan kata-katanya. Maaf, karena aku terlalu sering menjadi anak yang terlampau peduli pada diri sendiri.

Ibuku suka bernyanyi dan menciptakan lagu. Ia suka sekali bernyanyi diiringi orgen tunggal saat acara resepsi keluarga, lagunya tentang I Have a Dream dari Westlife. Ia suka menciptakan lagu tentang keluarga dan rumah kami. Sayangnya, aku tidak sanggup mengingat lagi secara utuh lagu-lagu itu. Tidak hanya itu, dia selalu memberi nama kepada semua boneka yang dulu sempat kumiliki. Lalu, dia juga selalu memarahiku setiap kali pulang mengambil rapor sekolah. Lantas dengan berani, saat duduk di sekolah menengah, aku memintanya tidak lagi marah melihat nilaiku. Atas semua itu, aku tetap masih mencintainya sepenuh hatiku.

Belakangan ini, aku seketika ingat dengan jelas mengenai satu cerita terindah yang pernah diceritakan ibu. Dulu, sewaktu aku masih kecil dan ayah-ibuku bekerja, ia selalu menyanyi untukku. Setiap malam, saat ibuku telah kembali dari kantor dan aku sedang bersiap untuk tidur. Ibuku menggendongku dalam kain panjang batik dan membawaku keluar rumah, ia memberikan botol susu ke dalam mulutku, lalu mulai bernyanyi sambil menunjukkan bintang dan bulan yang bertebaran di langit gelap. Rasanya, itu menjadi awal mula aku menggila-gilai langit dan seisinya. Ibu bernyanyi, menyanyikan lagu lama yang sepertinya tak pernah selesai kudengar akhirnya, karena aku terlanjur tertidur sebelum ibu usai menyelesaikannya.

Di wajahmu kulihat bulan
Menerangi hati gelap rawan
Biarlah daku mencari naungan
Di wajah damai rupawan

Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan
Ingin hati menjangkau kiranya tinggi di awan

Di wajahmu kulihat bulan
Bersembunyi di balik senyuman
Jangan biarkan ku tiada berkawan
Hamba menantikan tuan

Kini, tempat yang berbeda sedang memisahkan aku dan ibuku. Tetapi, sebentar lagi aku pasti pulang dan memeluknya hingga hari berganti. Aku merindukannya setengah mati dan tak kan pernah lupa mengatakan cintaku setiap dia sempat bicara padaku dari jarak jauh. Usianya sudah beranjak tua dan kurasa aku sudah membuatnya terlampau lelah. Kartu tanda penduduknya saja sudah tidak perlu diperpanjang lagi, tetapi aku masih saja merepotkannya. Lalu, pada hari ini saat ia menambah lagi usianya, aku ingin sekali tersenyum menatap wajah cantiknya itu dan berkata…

“Ibu! I lap u!!!” Memeluknya dan menciumnya berkali-kali hingga ibuku kepayahan.


******


…TERIMA KASIH IBU…



(sisa kue ibu yg ditinggal di kost)






*saat ibu ulang tahun, hanya sebuah kue kecil dan kecupan di kedua pipinya yang sanggup kuberikan*

Senin, 12 Oktober 2009

Dibalik Sebuah Foto

Dibalik Sebuah Foto

_Menur Widilaksmi_



Aku menatap sebuah bingkai yang tergantung di tembok. Memperhatikan ekspresi setiap orang yang terlukis dari setiap orang pada gambar itu. Mereka-reka cerita dari peristiwa ketika foto itu diambil. Aku melambungkan khayalanku dan mencoba menikmati setiap kejadian yang rasanya mampu sangat jelas kutatap lewat kedua mataku.

”Itu keluargaku.” seorang laki-laki tersenyum ke arahku dan membuyarkan segala lamunanku.
”Hmm... sudah kuduga. Ada kamu di sana.” aku mengalihkan pandanganku kepadanya.

”Kenapa kamu tampak terkesima memandangi foto keluargaku?”

”Karena aku ingin sekali punya keluarga.”

”Kamu punya aku sekarang.”

Aku memang sekarang punya keluarga. Dirinya. Keluarga kecil yang kuharap bisa selalu bahagia. Sebuah keluarga utuh yang sejak kecil selalu kucita-citakan, namun tidak pernah kudapatkan. Aku akan memulai lembaran baru bersamanya menjadi seorang ayah dan ibu, bersiap melahirkan anak-anak yang kuharap jauh lebih beruntung dari kami. Memiliki ayah, ibu, dan saudara yang selalu menemani mereka sepanjang hidup. Setidaknya, sampai mereka sudah siap menjalani hidup sendiri.

Dua puluh lima tahun aku hidup tanpa mengenal siapa ayah dan ibuku. Panti asuhan cacat ganda menjadi tempatku bernaung selama lebih dari dua dekade hidup. ..............

(read complete on Hermes For Charity)

-----------------------------------------------


Menyatukan Hati Untuk Menghapus Air Mata Ibu Pertiwi


Judul : HERMES FOR CHARITY *
Penulis : The Hermes
Bentuk : File digital (.pdf)
Harga : Rp. 15.000,-**





Isi :
Earth Is A Lonely Planet (Emmy Emanyza)
Dia… Tuhan! (Fajar Nugros)
Memotret Sejarah (Luckty Giyan Sukarno)
Tuhan Dan HambaNya (Dedo Dpassdpe)
Pulang (Melody Muchransyah)
Di Balik Sebuah Foto (Menur Widilaksmi)
Menunggu Bak (Luckty Giyan Sukarno)
Catatan Dari Padang (Rizki Januarsaputra)
Malaikat Bertongkat (Eni Setyaningsih)
Aku Mau Jadi Pahlawan (Galuh Parantri)
Untuk Wanita (Asyharul Fityan)
Surga Untuk Hati (Artasya Sudirman)
Wanita (Sitty Asiah)
Laila : Meja Nomor Tiga Puluh (Asyharul Fityan)
Hanabi (Chicko Handoyo Soe)
Aku, Lagu Cinta, dan Music Player (Faizal Reza)
Pangeran Impian Didi (Zadika Alexander)
Kura-Kura Terlambat (Faizal Reza)
Melepas Gia (Alvin Agastia Zirtaf)
Leaving Leon (Sitty Asiah)
Di Balik Pintu (Jia Effendie)
Liang (Dan Sapar)
Selamat Datang!! (Artasya Sudirman)
Hati Yang Tak Bisa Mati (Nina Josephina)
Berkawan Dengan Hujan (Pia Zakiyah)


Bonus: Original Soundtrack
Blue Summer - Hermes For Charity
Blue Summer - Someday Baby
Blue Summer - San Fransisco Bay


Seluruh hasil penjualan kompilasi cerpen digital HERMES FOR CHARITY akan disumbangkan untuk korban gempa di Padang, Sumatera Barat dan sekitarnya.



Cara pembelian :

1. Transfer Rp. 15.000,-** ke :

BCA KCP Proklamasi Depok
Nomor rekening. 661 040 947 2
a.n Alvin Agastia Zirtaf

2. Konfirmasikan pembayaran anda via email ke : hermesforcharity@gmail.com dengan format sebagai berikut :

Subject : Konfirmasi H4C
Isi: Nama (spasi) Tanggal & Bulan Transfer (Spasi) Jumlah Transfer (Spasi) Nama Bank (Spasi) No. Rekening (Spasi) Nama Pemilik Rekening

Contoh : Abdul Malik 0910 15000 BCA 123456789 Abdul Malik


Pembelian anda segera diproses dalam waktu selambat-lambatnya 1x24 jam, setelah itu link untuk mendownload produk akan dikirimkan via email.





Hormat kami dengan cinta,



The Hermes


Alvin Agastia Zirtaf - Artasya Sudirman - Asyharul Fityan
Chicko Handoyo Soe - Dan Sapar - Dedo Dpassdpe
Dwi Fitriyani - Eliana Candra - Emmy Emanyza - Eni Setyaningsih
Faizal Reza - Fajar Nugros - Galuh Parantri - Jia Effendie
Luckty Giyan Sukarno - Melody Muchransyah - Menur Widilaksmi
Nina Josephina - Pia Zakiyah - Rizki Januarsaputra
Sitty Asiah - Tiara Hermes - Zadika Alexander



-------------------------------------------
* Produk yang dijual adalah file digital (.pdf) dan file musik (.mp3). Gambar yang ditampilkan hanya sebagai ilustrasi. Pembeli akan mendapatkan link untuk mendownload produk yang akan dikirimkan via email.

** Harga yang tercantum adalah harga minimum. Kompilasi ini dirilis untuk penggalangan dana. Harga maksimum bisa ditetapkan sendiri oleh pembeli.

Kamis, 10 September 2009

Berhenti Menunggu






Dia selalu tak pernah absen meraih tanganku saat aku terpuruk. Menyentuh hatiku ketika tangis menyelimuti, hingga air mata terhapus oleh bahagia. Dia selalu bilang bahwa sedikit senyum menjadikan aku semakin tegar menjalani hari yang seringkali terasa pelik. Bukan matanya yang meneduhkan, bukan dirinya yang menguatkan, bukan tawanya yang menyejukkan, tetapi kata darinya yang selalu membuatku merasa utuh.

”Apakah aku akan menemukan tepian?” aku menatapmu saat malam berusaha kita habiskan selayak biasanya.

”Pada hati yang terlalu luas? Kurasa tidak.” kamu menatap langit dan menghela nafas seolah putus asa.

Kalimat itu selalu membuatku meragu, memaksakan diri untuk terus berpacu. Meresapi setiap waktu yang bisa kuhabiskan bersamanya. Diantara kegundahan, perih, takut, tawa, dan bahagia. Aku bisa menemuinya setiap saat bila dunia membuatku terluka. Bukan dengan belaian sayang dia mendekapku, tetapi kekuatannya yang berhasil menampar kekalahanku. Lalu, aku sanggup berdiri dan berjalan kembali menentang prahara.

”Kemana aja?” dia bicara kala satu waktu bertemu denganku setelah sekin lama.

”Kamu yang kemana aja?” perlawanan tegas kuucapkan sebagai wujud kerinduan.

”Setiap malam aku menunggu.”

”Disaat aku menunggumu?”

”Tidakkah kamu hendak membunuh jemu itu?”

”Haruskah aku?”

”Bila saja kamu mau sedikit berkorban.”

”Lalu, aku memperjuangkanmu? Tidakkah sebaliknya?”

”Aku ingin kamu sekarang.”

”Aku ingin kamu juga. Tapi tidak sekarang. Sanggupkah kamu menunggu lagi?”

”Diantara sepi dan kesendirian bersama ketidakpastian yang sanggup membunuhku?”

”Tidak. Aku akan menemanimu walau sempitnya waktu membatasi kita.”

”Kamu pikir aku sanggup?”

”Aku tidak memohon. Tapi aku berharap.”

”Lantas, aku akan bilang aku lelah. Aku berhenti saja.”

”Disini? Membiarkanku sendiri?”

”Tidak. Kamu bersama mimpimu. Biarkan aku bersama dia.”

”Dia? Mimpimu?”

”Bukan. Dia yang sanggup selalu ada bersamaku.”

”Membunuh mimpi kita?”

”Aku hanya mencoba merealisasikan mimpimu yang bukan aku.”

Ia pergi membalikkan langkah, berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Membiarkan aku memecah sunyi dengan tangisan yang menyiksa. Membuat seumur hidupku akan mengingat dengan jelas tentang setiap suara jejak yang ia tinggalkan.




*ketika menatap sebuah foto*

Jumat, 28 Agustus 2009

Ketika Siang Merindukan Malam




Aku ingin menangis
Tidak! Aku ingin berteriak
Pada ruang dan jarak yang membentang
Membatasi jiwaku untuk menyentuhmu
Padahal sejak lama harap mendesak untuk terkuak
Melekatkan sunyi untuk kau lucuti

Tanya selalu saja menyesakkan
Melantunkan lirik tentang pertemuan aku dan kamu
Walaupun waktu tak jua datangkan peluang
Sejuta mimpi selalu kugantungkan
Menghilangkan kehausan akan sepi
Lepaskan lara yang membelenggu

Ingin kembali pada peraduan
Menemui malam yang bersembunyi di sudut
Perhatikan ragamu yang belum kupeluk
Temukan rahasia pada hasrat di setiap celahmu
Hingga pagi menyambangi bila tangan bertaut



Tidakkah kamu?
Tidak usah lagi beringsut
Benar ini tentang kamu
Kamu yang sempat terpojok di sudut karena aku








*saat ingin sekali pulang

Rabu, 26 Agustus 2009

saat malam gelap dan sepi

Malam ini aku berjalan melangkahkan kakiku sendirian di tepi sebelah kiri jalanan yang tak rata. Gelap dan sepi. Iya, mirip seperti perasaanku yang sedang kututupi. Tetapi, karena aku sedang berhadapan dengan diriku sendiri, aku merasa tak perlu berpura-pura. Aku mampu merasakan gelap dan sepi yang membabi buta, dimana aku bisa saja memutuskan untuk membiarkan air mataku mengalir di pipi menunjukkan pilunya jiwaku. Namun, aku menahannya. Ternyata superego dalam diriku masih sanggup menahan id yang menggebu-gebu. Aku menahan diriku sendiri untuk melepaskan beban yang terendap.

Aku menatap langit agar air dari dalam mataku tidak menetes keluar. Langit yang hitam itu berkelap-kelip karena ada beberapa bintang bertebaran di sana. Lalu, ada bulan sabit yang tampak menggoda karena bentuknya yang sedang tampak sempurna. Aku jadi teringat padanya. Dia yang kurang lebih satu tahun ini tanpa kusadari telah menerangi setiap gelap dan sepiku. Hanya bila kuingin dan kuminta, bukan datang dengan sendirinya dan menawarkan.

Sejak lama aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Tak paham juga tentang sebabnya, karena kesendirian telah lahir dan tumbuh bersama tubuhku. Menjadikanku sebagai manusia yang terlalu sering tidak peduli pada perasaan orang lain, hingga aku sama sekali tidak peka pada kemungkinan datangnya pasangan jiwa. Menyadari bahwa sendirian itu menjemukan, seringkali aku hanya bisa tersenyum di depan cermin yang telah bertahun-tahun menjadi satu-satunya sahabat terbaik.

Lantas, seketika dia datang saat aku sedang berjuang mati-matian untuk membenci laki-laki yang menawarkan cinta. Tertawa, tersenyum, tertawa, dan tersenyum selalu saja menemani setiap kebersamaanku dengannya. Bahagia yang berbunga-bunga menjadikanku tenggelam dalam lautan hati. Dia berhasil melambungkan hatiku dan membuatku benar-benar jatuh hati padanya. Mencurahkan semua keindahan atas nama dirinya yang sama sekali belum pernah kutemui setelah… entah, mungkin 7 tahun lalu. Aku hanya bisa menatap wajahnya melalui situs pertemanan dunia maya yang sedang digandrungi banyak manusia.

“Jejakmu memudar tanpa aku tahu apa warnanya.”

“Kamu melhatnya tanpa warna?”

“Mungkin karena aku buta warna.”

“Lalu, sanggup menatapku dalam kebutaanmu?”

“Aku masih sanggup melihat walau tanpa warna.”

Sejak itu, aku jadi berpikir tentang keutuhan dirimu dalam menyaksikanku. Meragukan tatapanmu ketika melihat aku dengan teropong hatimu. Menyangsikan kebersamaan karena ruang dan waktu yang membatasi pertemuan. Aku masih berjuang dan berlari ke depan meraih mimpi yang ada kamu di dalamnya. Namun, aku mulai berpikir bahwa kamu tak mau menjadi mimpiku yang penuh warna. Kamu suka abu-abu yang membuatku memburu jemu.

“Aku sedang rapuh.”

“Berbagilah. Maka kamu bisa merangkaikan untuk menjadikannya utuh.”

“Bilakah kamu?”

“Walau kita berjarak. Aku masih tetap di sini menemanimu.”

Aku disini, kamu pun masih berada di sana. Walaupun aku tak sanggup menatap, tetapi aku mampu melihat. Jauh dalam lubuk hatiku kamu menjadi cahaya dalam langkahku. Aku masih dalam gelap, tetapi punya terang yang membuat jejakku tampak cukup jelas. Maka, ketika kamu menghilang dan terbang, aku berharap akan masih sanggup menggenggam sisa-sisa perasaan yang sempat kamu tinggalkan sebelum pergi.

“Kamu menunggu?”

“Sudah terlalu lelah rasanya. Bolehkah aku tak lagi menunggu?”

“Iya, harusnya begitu. Nanti akan datang.”

“Kamu?”

“……..”

Menempuhnya hanya butuh waktu sekitar dua belas jam saja. Bisa dibalik seharusnya. Menempuhku hanya butuh waktu sekitar dua belas jam saja. Sepertinya sudah sepantasnya aku menunggu, bukan memburu. Aku tidak akan duduk diam, dunia masih boleh berputar dan hari kupersilakan untuk berganti. Tetapi, aku mengajak diriku sendiri agar tidak lagi menikmati lelah menyelami perasaan dalam jiwa terdalamku. Aku ingin dia yang datang ke hadapan dan menyunggingkan senyumnya yang sudah terlalu lama tidak kutatap.

Sungguh aku sangat tak paham dengan perasaan yang terbersit belakangan ini. Aku tak bisa mendeskripsikan dengan jelas maknanya. Apakah aku tidak lagi peka dengan perasaanku sendiri?






*untuk seseorang yang sedang menghilang untuk menjelma menjadi bulan sabit di langit

13 # HERMES CAFE : Ketika Menemukan Lainnya

Aku segera berlari keluar dari kelas tepat setelah dosen ―perempuan setengah baya yang galaknya amit-amit― itu melangkah keluar pintu. Aku harus cepat-cepat pulang dan bersiap bertemu teman-teman gank kecimpring di Hermes Café pada jam makan siang. Jam 12 berarti setengah jam lagi dan aku masih berada di kampus.

“Triiiiddd!!!” teriak seseorang yang hanya suaranya kudengar.

Aku menghentikan langkahku dengan segera dan menoleh ke arah suara itu memanggil. Djawa berdiri beberapa meter di belakangku dan mengacung-acungkan binder file berwarna hijau milikku.

“Binder lo ketinggalan!” teriaknya.

Dasar dong dong, bisa-bisanya ninggalin binder file catatan kuliah di kelas. Padahal minggu depan si dosen ―perempuan setengah baya yang galaknya amit-amit― berniat memberi kuis yang biasanya susahnya tiada tara. Yah, satu-satunya mata kuliah yang membuatku rajin mencatat dan mendengarkan adalah kuliah dosen tadi. Bagaimana tidak, sudah tiga kali aku tidak lulus mata kuliahnya. Jadi, untuk semester ini aku harus berjuang mati-matian hanya untuk mengemis nilai B pada ibu dosen tercinta.

Langkahku beringsut mendekati tempat Djawa berdiri.

“Tengkyu, Wa.” Binder hijau itu langsung berusaha kurenggut dari tangan Djawa.

“Eh, gue pinjem dong catetan yang tadi.“ Djawa menahan binderku di tangannya.

”Dodol! Lu kagak nyatet?”

”Tadi gue tidur.” Djawa menyengir menampakkan gigi-giginya yang tampak tidak terlalu putih namun tetap berjajar rapih itu.

”Kampret lu! Kagak tobat-tobat juga lu ma dosen nenek sihir itu? Udah sama kayak gue nggak lulus tiga kali berturut-turut tetep aja ndablek!” aku dengan sukses menoyor kepala Djawa yang rambutnya berdiri tegak semua.

”Dasar emak-emak, ngemeng mulu lo! Udah, gue pinjem nih catetan!” Djawa membuka binder fileku dan mencari lembaran catatanku.

”Sebelum minggu depan lo balikin! Kita ada kuis. Gue nggak mau nilai gue ancur lagi gara-gara satu nilai kuis yang tidak memuaskan.” ancamku pada Djawa.

”Gaya lo, Trid! Kayak lo belajar aja besok.” Djawa menyinyir.

“Udah ah. Gue cabut! Kelamaan berantem ma lo bisa nggak pulang gue.” Aku membiarkan Djawa mengobrak-abrik binderku.

“Eh, lo mau kemana sih buru-buru amat? Pacaraan yaaaa???” Djawa mengejekku dengan senyum lebar dan alis yang sengaja dibuat naik beberapa kali.

“Kagaaakkk! Mau begaol gue!”

“Sama kecimpring lo itu?”

“Iyalah. Sama cewek lo juga.” Asiah, salah satu anggota kecimpring adalah pacar baru Djawa setelah aku dan teman-teman yang lain dengan sukses menjodohkan mereka.


*
Setibanya di rumah. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan kemrungsung mengganti pakaian dan meletakkan perlengkapan kuliahku di meja belajar kamar. Tak berapa lama, kekasihku yang seorang pelukis datang menjemput dengan motornya. Aku pun segera keluar rumah untuk segera berangkat ke Hermes Café.

Tepat di luar pagar, pacarku sedang asyik menungguku dengan duduk di atas jok depan motornya. Setengah berlari, aku menghampirinya. Tanpa banyak bicara, aku mengambil helm di tangannya dan segera naik. Pacarku yang seniman itu pun langsung menyalakan mesin motornya dan tancap gas meninggalkan rumah.

Sebenarnya kalau tidak pacarku yang menawarkan, rasanya enggan sekali pergi dengannya. Bahkan, aku juga sering berpikir, kenapa aku bisa pacaran dengan pelukis ini? Seseorang yang jalan pikirannya seringkali berbeda denganku dan membuatku jengah berdiskusi dengannya. Tetapi, entah kenapa hubungan kami tetap saja bertahan walaupun beberapa kali putus-nyambung.

Sangat bosan rasanya sepanjang perjalanan yang dihabiskan dengan pacar hanya terdiam membisu tanpa membicarakan apa-apa. Tidak jauh beda dengan naik ojek, malah kadang-kadang tukang ojek sering mengajak penumpangnya berbincang. Kekasihku ini terlalu pendiam dan menghanyutkan, membuatku seribu kali harus bersabar menghadapinya. Ah, andai saja aku menemukan orang lain yang sedikit saja lebih heboh dari pacarku, aku pasti akan mempertimbangkannya untuk mengisi hatiku.


*
”Pulangnya dijemput nggak?” tanya kekasihku setibanya kami di Hermes Café.

”Nggak usah. Nanti aku minta dianterin aja.” kuserahkan helm berwarna hijau itu ke pacarku yang sama sekali tidak berwajah ramah.

Dia hanya membalas dengan mengangguk. Aku pun meninggalkannya dan segera mengejar anggota kecimpring yang kulihat sedang akan masuk ke pintu café. Sambil menuju ke teman-temanku, aku mencoba melupakan kekasih nan menyebalkan itu. Memasang muka ceria seceria mungkin dan merangkul para kecimpring dengan bersemangat.

Setelah masuk ke tempat yang bergaya Art Deco dimana kami biasa berkumpul ini, aku dan segerombolan Venus berisik langsung memesan minuman pada waiter training aneh yang menjelaskan panjang lebar sejarah kopi jawa. Tak berapa lama setelah pesanan kami dicatat dengan cekatan, aku memperhatikan sekeliling tempat menakjubkan ini, mengagumi keindahannya sambil mencuci mata mencari pengunjung yang mungkin sanggup mengalihkan duniaku. Seperti laki-laki pemabuk kopi.... itu... dia... lagiii??? Omigod! Itu kan temennya Emmy yang kemarin...

Laki-laki yang bernama Chicko itu menghampiri kami dan langsung bergabung bersama di meja kami. Tapi, sebelum kami sempat berbincang, seseorang melangkah mendekati meja kami.

”Misi... Ini ada pesen dari Mas yang ada di sana.” ujar Alvin, waiter training yang tumben jalannya tidak kemayu. Lalu, ia pun menoleh ke meja tempat tiga orang laki-laki sedang berbincang.

Galuh mengambil kertas yang diserahkan oleh waiter menyebalkan itu.

”Baca, Gal!” beberapa diantara kami serempak berteriak pada Dudu.

Chicko hanya terdiam memperhatikan kami.

Galuh pun segera membuka kertas kecil yang disobek asal-asalan itu dan membacanya cukup keras hingga semua di meja ini dapat mendengarnya dengan jelas ;
Tolong telepon saya ya, 08566676766

”Buset dah! Nekat banget nih. Nyuruh-nyuruh kita.” Pia spontan protes.

”Gila deh. Sumpah!” Luckty yang kakaknya Pia pun bersuara.

”Udah telepon aja! Jabanin! Rame-rame ini!” aku pun berkomentar.

Galuh langsung mengambil telepon genggamnya dan menekan angka-angka untuk menghubungi nomor yang tertera di kertas itu.

Serempak kami menengok ke arah meja pemberi kertas itu. Terlihat seorang laki-laki mengangkat sebuah telepon genggam. Sayang, wajahnya tidak tampak, kami hanya bisa melihat tubuh bagian belakangnya. Yah, jelas-jelas itu dia yang sedang mengangkat telepon kami. Mungkin dia yang menyuruh kami menelepon.

"Halo!" ujar suara di seberang telepon.

"Halo!? Siapa ini ya?" ucap Galuh seketika setelah telepon diangkat. Galuh pun langsung menekan tanda loudspeaker agar kami semua bisa mendengar jawaban dari mas-mas di seberang telepon itu.

"Eh, maaf.. Temennya Dedo ya? Dedonya lagi nggak ada, bentar lagi telpon lagi ya?"

"Dedo siapa?" Galuh bersuara semakin kesal.

"Lhah, ini yang nelpon koq malah nanya?" suara di seberang telepon lebih menyebalkan lagi.

"Eh sori ya, mas. Saya baru dapat sebuah kertas untuk menelepon nomer anda. Jadi anda yang harus menjelaskan!"

"Saya nggak tahu dengan apa yang baru anda katakan."

"Begini. Anda memberikan sebuah kertas, sebuah perintah untuk menghubungi nomer telepon yang sedang anda angkat ini..." muka Galuh terlihat memerah.

tuuut, tuuut, tuuut... telepon pun terputus.





Sumpah! Laki-laki yang jawab telepon itu nggak jauh beda sama orang dodol yang bolotnya setengah mati. Memberikan sebuah kertas berisi perintah menelepon, tetapi ketika kami menelepon, ternyata dia sungguh menyebalkan dan tulalit jauh melebihi Mbak Welas yang ada di sinetron komedi pada sebuah stasiun televisi. Iya, sinetron yang menceritakan tentang istri yang galak banget sama suami-suaminya itu.

Akhirnya, kami semua tanpa dikomando langsung bangkit dari tempat duduk masing-masing dan bertekad bulat satu tujuan menghampiri meja gerombolan laki-laki itu. Termasuk Chicko yang mungkin dalam hatinya ikut bersimpati dengan kami, EMOSI! Sayangnya, saat kami melangkah, tiba-tiba salah satu diantara tiga laki-laki itu, seseorang yang berbandana beranjak meninggalkan meja. Dia pergi... mengarah ke toilet. SIAL!!!

Ketika berhenti di depan meja itu. Aku langsung menatap pada kedua laki-laki yang tersisa. Djawaaaa????? Omigod!

Djawa tersenyum lebar seperti biasanya, “Kenalin, ini temen baru gue nih baru kenal tadi, namanya Danang.”

“Sebelumnya perkenalkan nama saya Dan Sapar, panggil aja saya Danang. saat ini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Indonesia yang bergerak di bidang air therapy.” Laki-laki itu tampak berbinar-binar dengan senyum dan tampang berwibawanya. Uuuh... lutunaa...

Ooh, ini yang kemarin sempat diceritakan oleh Mbak Menur barista Hermes. Orang MLM yang katanya tak gentar menjaring manusia-manusia dengan kata mutiaranya yang sama sekali tidak menarik itu. Hahaha... tapi, nggak kok. Danang ini menarik sekali. Dia rasanya lebih cocok jadi model daripada salesman.

Tapi... loh, loh, loh... Kenapa beberapa orang kecimpring ini berbisik-bisik menyebutnya sebagai lelaki yang aneh? Padahal kan..

“Galuh. Tadi yang nelpon!” Galuh segera menyebutkan namanya dengan sedikit emosi.

“Pia.”

“Luckty, kakaknya Pia”

“Dwi, panggil aja gue Dudu”

“Emmy.”

“Astrid, temen kuliah Djawa.” ucapku. Dan laki-laki itu pun memandangku dengan tatapan yang membuatku malu.

“Dan gue Asiah.” Lanjut Asiah.

Djawa memperkenalkan Chicko pada Danang, “Danang, ini satu lagi temen gue juga, anak band indie gitu deh.”

“Chicko Handoyo, panggil aja gue Chicko.” ucap Chicko.

“Siiiip.”

Tak berapa lama kemudian, dua orang laki-laki menghampiri meja kami yang ramai sekali ini.

"Nah ini orangnya!" kata Djawa.

"Ada apa ya?" sapa salah satu diantara keduanya dengan muka polos, atau lebih tepatnya sengaja dipolos-poloskan.

"Shit! Pura-pura lagi, ini nih yang punya nomer handphone itu.."

"Wa! Lo ah.."

"Haha, apa lo? Nggak bisa ngeles lo." Djawa dan laki-laki itu saling menimpali.

"Oh, jadi ini orangnya.." ejek Galuh.

”Dedo.” Laki-laki itu cuma senyam-senyum dengan wajahnya yang semakin memerah. Mungkin karena malu.

"Lo semua, pada tau nggak? Ini tuh temen-temen gue," kata Djawa pada dua laki-laki itu.

"Yang ini Galuh, yang barusan berantem di telepon sama gue gara-gara lo. Ini Pia, ini Luckty, ini Dwi atau biasa dipanggil Dudu, Ini Emmy, ini Astrid temen kuliah gue. Dan yang paling spesial: Asiah, temen gue juga, cuma pake spesial, hahaha.." Djawa mengulang perkenalan lagi. Sepertinya laki-laki yang bernama Dedo itu tampak sangat malu. Bayangkan saja, dia sok kenal dengan kami semua, ternyata malah diperkenalkan oleh Djawa.

Tapi, jujur saja aku terpesona dengan laki-laki yang senyumnya menakjubkan itu. Gayanya yang salesman sejati itu membuatku terpana dan berkhayal untuk bisa mengenalnya lebih jauh. Mungkinkah aku jatuh cinta?



**********


cerita ini merupakan cerita berbalas dari Genk Hermes... Cerita sebelum dan sesudah dapat dilihat di grup Gank Hermes...

Sabtu, 20 Juni 2009

jantungku dan jantungmu


Melihatmu seringkali membuatku merasa terkejut. Mungkin kalau jantungmu berdegup kencang karena rasa cinta itu, jantungku berdegup kencang karena was-was dengan rasa cintamu itu. Semua hal seolah-olah menjadi disetujui logikamu bila kamu memikirkan cintamu itu. Padahal semua sangatlah tidak masuk akal ketika cinta itu sedang memenuhi seluruh sudut ruang duniamu sendiri. Yah, seperti banyak orang lain bilang, dunia serasa milik berdua. Aku hanya kamu anggap sebagai buku harian yang siap ditulisi kapan saja kamu butuh, tanpa pernah mendengar pendapatku, kamu menikmati saja indah harimu dengan cinta itu.

Satu bulan lalu kamu bercerita bahwa pangeran gagahmu ini adalah seorang tampan yang pintar, kaya raya, baik hati, tidak sombong, dan menyukai dirimu apa adanya. Lalu, sehari setelah kamu menerima cintanya penampilanmu berubah. Katamu, jantungmu berdegup semakin kencang mendengar kata-kata romantisnya yang memuja kecantikanmu. Aku juga punya jantung yang berdegup semakin kencang ketika setelah itu kamu mengajakku pergi ke mal dan menghabiskan limit kartu kreditmu hanya untuk membeli high heels, beberapa alat make-up, dan sebuah baju terusan feminim. Jantungku bahkan mau copot rasanya melihatmu memakai semua itu keesokan harinya. Kamu yang biasa memakai sepatu flat, kemeja, dan jeans tanpa perona pipi. Tiba-tiba menjadi seperti mbak-mbak SPG di PRJ.

Dua hari kemudian, kamu mengajakku pergi ke salon karena katanya jantungmu berdegup semakin kencang saat dia mengatakan kalau rambutmu akan semakin indah bila kamu memanjangkan rambut pendekmu itu. Aku merasa jantungku tergeletak sebentar di lantai salon ketika melihatmu menyambung rambut dan mewarnainya seperti jengger ayam. Kamu mengajakku foto-foto, membuatku tampak semakin bodoh disandingkan dengan kamu yang super duper tampak feminim dan gaul.

Dua hari kemudian, kamu meneleponku dan bercerita bahwa jantungmu berdenyut cepat saat kekasihmu itu mencium bibirmu dan menjamahi tubuhmu. Tentunya saja jantungku seakan sepuluh kali berdegup lebih kencang dari biasanya setelah mendengarkan kebodohanmu itu. Dua hari kemudian, kamu mengetok pintu rumahku pukul satu pagi dan membuat jantungku berdegup kencang dan semakin kencang. Apalagi ketika tiba-tiba kamu tersenyum bangga setelah dia berhasil merenggut keperawananmu. Ketika itu kamu berhasil membuatku terkena serangan jantung. Untung saja kesehatanku masih cukup baik hingga aku masih tetap bisa hidup.

Dua minggu kemudian, kamu memintaku menemanimu ke apotik dan membeli alat tes kehamilan. Jantungku kembali dipermainkan olehmu ketika kamu mengatakan bahwa sudah ada janin yang tumbuh di dalam rahimmu. Kamu menangis. Katamu jantungmu seakan berhenti berdegup saat harus mengatakannya pada kekasih hatimu itu. Dua hari kemudian, kamu membawaku ke sebuah klinik bersalin tak resmi untuk menggugurkan kandunganmu. Hari itu aku sama sekali tak melihat manusia bejat yang telah merenggut kenormalan fungsi jantungmu. Jantungku pun berdetak kencang. Bukan karena kaget akan keputusanmu. Tetapi karena mendengar ceritamu tentang kata-kata laki-laki itu bahwa cara ini adalah yang terbaik bagi semua. BIADAB!!!

Dua hari kemudian, orang tuamu meneleponku. Jantungku seakan tergetar ketika mendengar bahwa kamu dirawat di rumah sakit akibat proses menggugurkan kandungan itu. Setibaku di ruang rawatmu, kamu tergolek lemas, terbius infus, dan pria jahanam itu sama sekali tak ada di sampingmu. Hanya ada ibumu yang tak berhenti menangis. Lalu, ayahmu yang menanyaiku tanpa ada putus karena mencemaskanmu.

Dua hari kemudian, waktu aku sedang mencoba menikmati degupan jantungku sendiri karena cinta dari seorang pria, sebuah SMS masuk ke handphone milikku. Ternyata, berita duka cita... Jantungmu benar-benar telah berhenti berdenyut untuk selamanya. Ketika itu, jantungku seakan ikut mati.

Dua jam kemudian, aku tiba di rumahmu. Menatap jenazahmu. Terbujur kaku tanpa detak jantung. Hitam dan sendu memenuhi seluruh bagian rumahmu. Memperhatikan sekeliling. Seketika jantungku berdebar kencang sekali, tubuhku terasa panas, dan emosiku memuncak... Ibumu menampar wajah laki-laki yang ada di sampingku, lalu berteriak: "KURANG AJAAARR!!!"




Dia... Laki-laki yang memakai kemeja putih dan berdiri di sampingku adalah kekasih hatiku yang baru, perebut jantungku, sekaligus perenggut keperawanan belahan jiwaku dan membuatnya tak sanggup lagi merasakan denyut jantungnya.

Kamis, 18 Juni 2009

kalau aku sudah tahu caranya



dr. Arina Larashati. Shati. Singkatnya begitu saja. Itu aku. Perempuan 28 tahun yang telah menjadi dokter di sebuah rumah sakit swasta cukup terkenal di daerah Jakarta Timur. Aku anak ke empat dari delapan bersaudara. Aku hidup dengan diriku sendiri. Mendunia bersama cintaku sendiri.

Sekarang aku sedang bersama kekasihku. Dia laki-laki berumur 26 tahun yang sudah 4 tahun kupacari. Aku dan dia sedang bertemu di sebuah sudut sebuah kedai kopi kecil di ujung komplek tempat tinggalnya.
*

Kamu menyalakan rokok. Lalu, menghisapnya dalam-dalam.
"Nggak pulang lagi malam ini?" tanyaku.
"Lagi nggak pengen sama kamu." jawabmu.
"Kenapa?" tanyaku.
"Luka-lukamu tuh bikin ilfil." jawabnya singkat.
"Loh, kan kamu yang bikin." jawabku.
"Kamu kan dokter. Harusnya tau gimana caranya ngilangin luka dengan cara yang cepet," ujarnya sambil melihat lebam di pipiku, "lagipula tuh kamar udah sumpek banget rasanya. Bersihin kek!" lanjutmu.
"Itu kan kamarmu." jawabku.
"Kamar kita kan, Sayang?" kamu tersenyum sambil membenarkan letak poni rambutku.
Aku terdiam.

"Udah ah. Pergi dulu yah." kamu tersenyum lagi.
Aku mencoba meraih tangannya. Tak rela ditinggalkannya.
"Nanti kalo butuh telepon aja." kamu mencium kepalaku.
Aku terdiam. Menyaksikan langkahnya kelamaan hilang.

Duduk sendirian masih di tempat yang sama. Setelah melihatnya pergi dan memutuskan tidak menghabiskan malam bersamaku. Memikirkan cara untuk berhenti tergila-gila padanya. Mencari alasan untuk menyudahi semua rasa cinta kepada kekasihku sendiri. Menghapus lembaran kisah yang telah kuceritakan selama bertahun-tahun. Menyudahi semua luka yang selama ini selalu ia sayatkan padaku.

Membunuhnya? Lalu, aku masuk penjara dan membiarkannya mati dengan mudah? Tidak. Memutuskan jalinan cinta kami berdua? Lalu, dia akan dengan mudah menerorku dan menceritakan kemampuannya merenggut keperawananku pada pacar baruku nanti? Tidak. Mendatangi orang pintar dan membuatnya jatuh cinta kepadaku tanpa syarat? Lalu, aku dikutuk Tuhanku sendiri karena menyekutukanNya? Tidak. Selingkuh dengan laki-laki lain? Lalu, dia akan membunuh laki-laki selingkuhan yang tidak berdosa itu? Tidak. Lantas... Apa yang harus kulakukan?

Terlalu lelah menghabiskan tiap malam bersamanya. Bertiga menyatu bersama kasur di atas tempat tidur yang baunya sudah sangat penuh dengan kenistaan. Cuih... Aku saja rasanya ingin muntah bila sedang terlelap di atasnya. Namun, cintaku padanya membuatku menyerahkan segala kebanggaan diri. Hanya karena takut kehilangan peluknya. Lima tahun. Hanya di atas kasur kamarnya. Begitu saja dengan cara yang itu-itu saja. Dia bisa dengan mudah menamparku, mencaciku, lantas menyetubuhiku begitu saja. Bila sudah, ia akan bercinta dengan rokok dan minuman kerasnya.

Umurku sudah tidak muda lagi. Semua adik dan kakakku bahagia bersama keluarganya. Orang tuaku saja sudah mati karena jengah dengan hubungan anehku dengannya. Tanpa ada orang lain tahu bahwa aku yang seorang dokter dengan kekayaan berlimpah, tersungkur di bawah hinaan seorang laki-laki pemabuk sepertinya. Maka aku adalah seorang yang sangat hina.

Terlalu sulit untuk membuatnya pergi. Kini, satu-satunya hal yang terpikirkan adalah membuatku pergi dari hidupnya. Selamanya. Sudah tidak ada gunanya aku berada di dunia ini bila harus tersiksa menjauhi dia, apalagi bila ia terus sanggup membuatku jatuh dalam jerat cintanya. Maka, cara paling mudah untuk pergi dari dia adalah... MATI...

Bagaimana cara mati yang paling tidak menyakitkan? Aku sendiri yang seorang dokter sama sekali tidak tahu caranya. Hanya tahu kalau cara mati yang dikehendaki sendiri adalah bunuh diri. Tanpa tahu caranya. Maka, aku akan mencari tahu cara itu. Segera. Lalu aku akan mati, pergi selamanya dari hidup laki-laki yang sangat kucintai itu. Nanti, kalau aku sudah tahu caranya.

butuh jeda


Sebenarnya bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan terlalu berlebihan ketika langkah ini menentukan arahnya sendiri.

Menjadi bukan perkara apa-apa ketika waktu yang dilalui terasa terlalu cepat, padahal kaki ini sudah berusaha keras untuk terus berlari.

Pagi yang berubah menjadi siang, seketika bisa menjadi sore, dan dalam kejapan mata langsung berubah menjadi malam.

Satu, dua, tiga, hingga sampai seratus, mungkin seribu. Hitungan menjadi semakin banyak dan lebih dari satu digit.

Tak salah bila merasa jengah, lelah, dan mau marah. Namun, mimpi itu masih jauh di angan. Terlalu tergesa bila ingin menyerah. Jalan yang ditempuh sudah terlalu jauh, tak mungkin berputar, pengecut bila ambil jalan pintas, dan akan menjadi malu bila harus jalan berbalik.

Tidak sekedar membutuhkan tangan untuk meraih, bahkan tak sanggup bila di bantu kaki yang menjinjit. Menaiki kursi masih terlalu sulit, kursi yang ada di atas meja pun tak sanggup ikut membantu. Butuh tangga dengan banyak anak. Tidak cukup itu, masih harus ada jalan yang lebar, setapak, berbatu, berbukit, bahkan jurang yang dalam.

Lalu, akan dibutuhkan istirahat yang sejenak saja. Ketika semua terasa melelahkan, saat perjuangan membutuhkan helaan nafas panjang, dan pejuang itu sendiri terlalu lelah untuk terus bersemangat.

Tiang yang kokoh suatu saat bisa saja hancur. Batang pohon yang besar dan kuat seketika bisa saja tumbang. Lantas, tubuh yang tegar pun pantas jika merasa lemah.

Semua ini bukan berarti kalah. Tak berarti besok akan terdiam di tempat tanpa bergerak. Pantang menyerah untuk menyongsong matahari. Urung pulang bila malam belum datang.

Ini bukan maksud menunjukkan bahwa kisah ini adalah yang paling menyedihkan. Karena setiap nurani menceritakan kisahnya sendiri. Masing-masing insan memiliki sakit yang berbeda.



Bila saja ada satu jarak pendek yang bisa diciptakan. Sesaat saja. Hanya butuh jeda. Satu spasi saja sepertinya akan membuat semua bisa terasa lebih lega.








(tidak hanya kamu.... semua orang akan membutuhkan jeda...)

_buka mata, hati, dan telinga untuk bisa berbagi rasa, tangis, dan tawa_




Kamu mengambil lagi rokok dan menyalakannya lagi dengan api. Menghisapnya. Memejamkan mata sesaat. Lalu, tak lama kamu pun menghebuskan asap dari mulutmu. Kamu terdiam. Menikmati hisapan demi hisapan rokokmu. Tak ada suara. Tak bicara. Hanya asap yang keluar dari bibirmu seolah mencoba menggambarkan gundahnya jiwa.

Detik, menit, jam, hari, minggu, dan bulan yang kamu lalui terasa begitu membebani. Kehidupan yang sedang kamu alami sedang penuh tekanan. Banyak hal yang harus kamu raih. Ada tumpukan tugas yang harus kamu selesaikan. Beberapa masalah pun membuatmu sibuk dengan diri sendiri.

Kutatap wajahmu, matamu, dan gerak tubuhmu. Ada lelah yang tampak di sana. Cemas, takut, sedih, dan gulana itu yang paling tampak. Fikiran dan hati itu sekarang tampak memikirkan dirinya sendiri. Tidak lagi mampu membuai orang lain dengan keteduhan dan kesediaan mendengarkan segala keluh kesah. Kamu ingin didengar, dilihat, dan dipedulikan. Sedikit saja.

Aku masih mencoba mengamati dari sini. Memandangmu yang tampak kuyu dengan segala beban itu. Tetapi kamu mencoba bertahan, mencoba menyimak dengan baik, karena semua tahu dirimu begitu adanya.

Kamu tetap mendengarkan cerita cintanya, mendengarkan sakit hati yang dialaminya, mendengarkan luka batin yang dideritanya, dan mendengarkan tangis jiwa yang dirasakannya. Tanpa dia tahu tentang apa yang sedang kamu alami.

Aku masih dari jauh menatap.

Kamu bersikap yang tidak biasa ketikan dia meminta saran darimu. Hingga... Kamu menghela nafas sambil membuang abu di ujung rokokmu itu.
"Jalani hidupmu. Coba lupakan itu!" kamu bangkit dari tempat duduk, lalu pergi. Kembali menghisap rokokmu. Untuk kali ini kamu pergi. Bukan tidak peduli. Hanya butuh ruang untuk sendiri.




Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga
(Maliq and D'Essentials-Mata Hati Telinga)





Kamu terlalu banyak mendengar soal cinta. Terlalu banyak manusia yang percaya dengan cinta. Semua orang di sekitarmu menggilai cinta. Seakan hanya kamu yang hanya bisa sadar dengan kebodohan yang dibuat oleh cinta yang gila itu. Seperti tinggal kamu yang sanggup mendengar segala cerita tentang derita cinta itu. Seolah tubuhmu saja yang belum dirasuki racun cinta itu.

Kamu selalu ingin menyelesaikan yang lain selain cinta. Kamu terus berharap bisa mengerjakan hal lain tanpa memikirkan cinta. Kamu terus berpijak pada langkah yang tak hanya mengejar cinta. Kamu terus mencari hikmah dari semua misteri yang tak pernah terpecahkan, tetapi itu bukan cinta. Buatmu, banyak hal yang lebih penting dari sekedar ucapan cinta. Kamu tak sadar bahwa mata, hati, dan telinga pada tubuhmu terlalu terbuka mengenali segala cita-cita lain. Lalu, pada akhirnya, kamu terlalu menutup diri untuk membuka hati pada seorang cinta.

Aku masih mengikutimu. Membuntutimu dari sini. Mencecapi setiap jejakmu yang terlalu rapuh.

Kamu seketika berhenti. Ini pada sebuah hutan luas yang terlalu indah untuk ditakuti. Namun, kamu sendirian. Hingga rasa takut itu menghinggapi kesepianmu. Lalu, kamu mencari sebuah pohon yang paling besar. Terduduk di bawahnya. Mematikan rokokmu. Melingkarkan lututmu, menundukkan kepala. Lantas, kamu mulai menangis.

Aku tetap menatapmu.

Kamu terisak. Perlahan sekali. Hingga di hutan seluas ini pun tak ada yang mendengar. Kamu merasakan keberadaan yang hanya dirimu sendiri. Tak ada yang lain. Tanpa cinta. Tanpa ada tempat untuk berbagi rasa, berbagi tangis, dan berbagi tawa. Kamu mulai menyadari bahwa kamu membutuhkan seseorang. Mulai menyadari bahwa kamu membutuhkan apa yang selama ini orang lain butuhkan dari dirimu.

Aku masih menyaksikanmu.

Pertahanan tegapmu itu seketika runtuh. Kamu tak seteguh itu. Kamu menjadi rapuh.

Lantas, masihkah kamu bisa membuka mati, hati, dan telinga untuk hal lain saja? Tidak pada satu kata itu? Tidak menuju ke perwujudan kata itu?

Aku memperhatikanmu semakin seksama. Berjalan ke arahmu.

Memegang bahumu dan duduk di sampingmu. Diam saja.

Kini, di hutan luas ini. Tempat yang terlalu indah ini. Ada kamu yang sendiri. Ada aku yang sendiri. Ada kita berdua. Di bentangan alam ini ada jejakku di sampingmu, ada langkahku mengiringimu, ada senyumku menemanimu, ada tawaku menghiburmu, dan ada tangisku meratapimu.

Jadi, mari berjalan ke depan sana. Pada tempat yang jauh dan entah berujung dimana. Jangan tengok ke belakang. Jangan takut gelap. Jangan takut terik matahari. Jangan takut rintangan. Bila saja kamu jatuh, aku akan ulurkan tangan. Tidak perlu kita melangkah bersebelahan. Cukup saja kamu tahu bahwa aku ada.

Sabtu, 30 Mei 2009

Friendship

Teman.... Teman baik.... Sahabat... Sahabat baik...



*
Aku berada dalam ruang yang tentu saja terdiri dari banyak manusia dengan karakter berbeda satu sama lainnya. Setiap diantara mereka akan dengan sengaja bersama orang-orang yang memiliki karakter sama atau setidaknya saling merasa nyaman. Hingga orang-orang lain pun menyatukan dirinya bersama kedekatan masing-masing. Sampai beberapa orang terlihat berpasangan karena lebih nyaman menjalani segalanya berdua saja. Semua akan saling berikrar sebagai sahabat dalam kelompoknya sendiri.
Aku menjadi seseorang yang ada di sini. Berada dalam kelompokku, namun belum mampu mengikrarkan mereka sebagai sahabat. Terlalu cepat rasanya. Aku takut salah, karena terkadang aku mampu juga bergabung dengan yang lain.


*
Aku mengetahui beberapa orang. Lebih tepat kusebut sebagai mereka. Kukenal setiap aku berganti kelas dan berganti tempat. Persahabatan di lokasi. Hmm... mirip cinta lokasi. Aku selalu dekat dengan siapapun yang menghabiskan waktu denganku. Sejauh ini aku berusaha begitu. Mereka menjadi pengisi hatiku saat sepi. Mereka semua teman-teman sebangkuku, temanku saat berjalan pulang ke rumah, dan temanku saat menghabiskan waktu di jalan.

Aku mengenal beberapa orang sudah sejak lama. Aku mengenal mereka semua dengan baik. Mengerti apa yang mereka rasakan. Paham tentang semua kebiasaan yang dilakukan. Aku dan mereka bisa tertawa bersama. Tapi, sulit bagiku untuk menangis bersama mereka. Maaf, bukan aku tak percaya. Hanya saja, ketika itulah hatiku bicara. Aku ada disini untuk mereka, namun tak apa bila mereka tak ada walaupun aku membutuhkan mereka.


*
Aku mengenal beberapa orang. Pada situasi yang berbeda. Pada kesempatan yang berbeda. Pada waktu yang berbeda. Bila disatukan, aku tidak yakin kami semua bisa cocok.
Dia menjadi seseorang yang penting dalam hidupku. Hingga kini, saat ia seringkali mengatakan bahwa aku adalah belahan jiwanya. Walau aku sendiri belum yakin. Aku memang belum pernah menangis di depannya. Tetapi banyak waktu yang kami habiskan berdua lewat tertawa. Banyak kesamaan diantara kami, banyak perbedaan yang mampu dipadukan, namun ada juga nasib yang membuat kami menyadari bahwa kami berbeda. Tahukah, ketika aku menuliskan ini, dia mengirimkanku sebuah pesan singkat yang berisi:
"Cahaya bukan hanya sebuah nama pelita, tapi menerangi kelamnya hati. Cahaya bukan padam karena hitam, tapi dia padam tanpa banyak makna menjiwainya. Tapi, yang kutahu... cahaya yang kupunya adalah kamu. Kamulah cahaya jiwa, digundah dan dukaku."
Tidakkah kami saling memikirkan di saat bersamaan tanpa sengaja?


*
Aku mengenal satu orang ini sudah cukup lama. Dia seseorang yang secara fisik mungkin tak sempurna. Ada kecacatan yang membuat hidupnya terbatas. Namun, entah kenapa seringkali aku melihatnya sangat sempurna. Banyak hal yang membuat kami menangis bersama. Banyak kenyataan yang membuat kami belajar. Banyak waktu terlalu sulit kami habiskan bersama. Tetapi kami seringkali saling merindu. Dia sangat sederhana dan terlalu biasa saja. Justru semua itu membuat ketidaksempurnaannya menjadi sesuatu yang mampu kuterima apa adanya.

*
Banyak orang yang terlalu sulit untuk diceritakan. Setiap orang yang kukenal punya makna berbeda dalam hidupku. Tidak sekedar teman, teman baik, sahabat, atau sahabat baik. Kehidupan seseorang pun akan berbeda ketika mereka melihat orang-orang di sekitarnya. Menjadi lebih berwarna.
Tak peduli beberapa orang yang membuatku kecewa. Berapa teman yang secara tak sadar meremehkanku. Berapa sahabat yang tak sengaja membenciku. Berapa teman baik yang telah membohongi. Berapa teman yang telah mengkhianati. Biar saja aku yang tahu bahwa aku kecewa. Namun, mereka akan tetap menjadi bagian dari hidupku.

Ketika berada di titik yang belum jauh ini. Ada beberapa orang yang kuanggap lebih dari itu semua. Aku punya beberapa orang yang menganggapku kakak dan aku menganggap mereka adik. Saudara. Saat itu semua terasa menjadi lebih indah. Keluarga. Walaupun tidak memiliki warna darah yang sama merahnya.

Sahabat terbaik. Dia menjadi satu orang yang selama ini kuanggap pelengkap hidup. Pengaruh terpenting di dalam hidupku. Banyak hal yang mampu kupelajari darinya. Hingga aku sendiri tak peduli akan anggapannya tentangku.


*
Tentang teman, teman baik, sahabat, sahabat baik.
Menilai setiap orang dalam hati tentunya menjadi kepentingan diri sendiri. Lantas biar saja semua terasa sendiri dalam batin kecil ini.
Terserah saja akan berada dimana diri kita di mata orang lain. Hanya saja memberikan kebaikan tanpa peduli kesalahan mereka akan lebih menenangkan. Karena kita mungkin tidak menyadari saat telah melakukan suatu kesalahan.






*ketika seseorang merasa hidupnya dimiliki sahabatnya. itukah sahabat?*

Sabtu, 23 Mei 2009

- MimPi -


Malam ini aku menemukan sebuah tulisanmu. Tepatnya komentar pendek atas suatu wacana. Namamu akhirnya kembali lagi dapat kubaca walaupun hanya dari sini.  

.... apa sih yang membuat pelaksanaan eksekusi menjadi sulit???! biaya eksekusi yang mahalkah yang menjadi kendala? .... atau para yudikatif kita yang banci??sgt mengenaskan,katanya negara kita ini negara hukum ...  


"Hei, aku berhasil!" 
"Hah?" 
"Kasus pertamaku." Kamu memegang sebuah map dan menunjukkannya padaku. Lalu, kamu tertawa puas sekali. 
"Kamu sendiri yang menanganinya?" 
"Belum. Yang jelas, ini kasus pertama yang berhasil." 
"Lantas, kapan kamu akan benar-benar jadi pengacara?" tanyaku meremehkan. 
"Tunggu saja. Segera. Sebelum kamu berhasil meraih mimpimu." 
Aku hanya tersenyum. 
"Loh, nggak percaya?" 
"Aku percaya." Aku selalu percaya padamu.  
"Bagus." 
"Omong-omong, kasus apa ini? Pembunuhan? Korupsi? Perceraian?" 
"Bukan. Narkoba." 
"Kasus biasa." Ucapku sok tahu. 
"Terserah. Yang jelas, tidak semudah yang kamu bayangkan." 
"Jadi, klienmu tidak bersalah?" "Tidak, dia bersalah." 
"Lalu, kenapa kamu mau membelanya?" 
"Uang. Maju tak gentar membela yang bayar." 
"Kemana nuranimu?" "Nuraniku lebih membela perutku." 
"Kenapa kamu mau?" 
"Ini perjalanan menuju mimpi, sayangkuuu..." 
*  

Aku percaya bahwa kamu masih terus berjuang meraih mimpi-mimpi itu. Mimpi yang dulu pernah kamu katakan padaku. Dan kini mungkin sudah mulai mampu kamu genggam perlahan.  

Lebih dari setahun kita tak lagi saling bertemu. Bahkan bertukar kabar. Yah, aku tahu benar posisi dan situasimu saat ini. Tak mungkin lagi kita bisa beradu pendapat. Akan menjadi terlalu egois.  

Aku hanya ingin kamu tahu bahwa mimpiku masih tetap menjadi mimpiku. Walau bagian tentang bersamamu harus kuhilangkan dengan paksa. Namun, itu akan menjadi bagian yang terindah dalam perjalanan hidup yang kulalui.  

Kini yang kutahu, aku sudah berjalan sampai di sini. Mencoba menggapai mimpi-mimpiku. Meski tanpamu.

Tapi, kamu harus tahu bahwa aku sedang mencoba meraih mimpi ini dengan bantuan orang lain. Seseorang yang kini kuanggap jauh lebih berarti dari keberadaanmu sekarang.


Jumat, 08 Mei 2009

menjadi pilihan


Pagi ini sama saja seperti hari biasanya. Setidaknya itu yang terasa. Ketika terbangun, tak ada dia lagi di sisiku. Harus kusadari walau masih terlalu sulit diterima. Sepi itu sebenarnya sudah hilang ketika ada lain yang datang. Seseorang yang selalu tertawa bersamaku di sini setiap malam. Banyak kata yang dia ucap melalui bahasa yang dia lontarkan. Namun terkadang aku merasa rindu akan kehadirannya. Terasa dia begitu jauh dan terlalu sulit untuk mampu menatap matanya. Ragu untuk meyakinkan diriku sendiri. Selalu saja rasanya seperti. Tidak jelas. Entah apa yang menghadirkan semua ini. Atau semua karena keraguan dan ketidakjelasanku sendiri?  

Dia menatapku. Duduk di hadapanku. 
"Kamu menyukai hari ini?" tanyanya dengan senyum. 
"Iya, aku selalu suka hari-hari kita bersama." jawabku. 
"Kamu bisa merasakan aku dan kamu menjadi kita?" tanyanya. 
Hmmm... aku sedikit bingung. 
"Maksudmu? Kita?" 
"Entah." 
"Tunggu! Entah?" aku sedikit kesal.
"Entah.Biar saja. Bukan sekarang aku akan menjawab." 
"Lantas?" aku butuh kepastian. 
"Tidak dalam dua tahun ini." 
Aku terdiam. Selama itukah? Ketika aku sudah cukup tua. Sewaktu aku mungkin seharusnya membuka hati pada orang lain dan aku masih harus menunggunya. Tidakkah sia-sia menunggu selama itu? Sedangkan perasaan ini tetap saja tidak pasti walaupun aku bersamanya.  

"Hei..." panggilnya. 
Aku tersenyum. Dalam hati mencoba mengumpulkan keberanian.
"Kamu pernah memikirkanku?" 
"Selalu." 
"Maksudmu?" 
"Aku selalu memikirkanmu."
"Sampai kapan?"
"Maksudmu?" dia balik bertanya. 
"Iya, sampai kapan kamu akan memikirkanku?" 
"Aku tak tahu." 
Dia saja tak tahu. Lantas, apakah aku harus mengetahuinya dan menerkanya sendiri? Aku ragu.
"Pernahkah kamu berpikir bahwa ada seseorang yang mencintaimu sampai mati?" 
"Berpikir? Menyangka pun tidak. Aku terlalu malas membicarakan cinta. Biarkan ia datang saja nanti." "Kalau tiba-tiba cinta itu justru pergi?" tanyaku. 
"Biarkan saja. Mungkin memang dia harus pergi." 
"Lalu kamu bisa hidup tanpa cinta?" tanyaku lagi. 
Dia terdiam. 
Lalu aku pun pergi. Kembali ke rumah. Merebahkan diri di atas tempat tidurku. Kutumpahkan lelahku. Sejenak kumenangis. Kumenoleh ke kanan, dimana dulu biasanya ada dia. Aku ingin lagi menemuinya. Aku cuma tahu bahwa dia yang mencintaiku sampai rela mati di tanganku. Aku hanya ingin memohon maaf padanya dan menjadi kekasihnya lagi seperti dulu.  

'SRET!' 
Seketika darah mengalir di pergelangan tanganku. Rasanya sakit sekali. Cara klasik yang membuatku masih bisa menikmati sisa hidup. Aku bahkan masih bisa mendengar sebuah sms masuk di handphone. Beberapa detik lagi aku meninggal dunia, namun aku tetap berusaha membacanya dengan menahan rasa sakit: 
Aku akan memikirkanmu selamanya. Dan aku tak ingin kamu pergi, cintaku.