Sabtu, 30 Mei 2009

Friendship

Teman.... Teman baik.... Sahabat... Sahabat baik...



*
Aku berada dalam ruang yang tentu saja terdiri dari banyak manusia dengan karakter berbeda satu sama lainnya. Setiap diantara mereka akan dengan sengaja bersama orang-orang yang memiliki karakter sama atau setidaknya saling merasa nyaman. Hingga orang-orang lain pun menyatukan dirinya bersama kedekatan masing-masing. Sampai beberapa orang terlihat berpasangan karena lebih nyaman menjalani segalanya berdua saja. Semua akan saling berikrar sebagai sahabat dalam kelompoknya sendiri.
Aku menjadi seseorang yang ada di sini. Berada dalam kelompokku, namun belum mampu mengikrarkan mereka sebagai sahabat. Terlalu cepat rasanya. Aku takut salah, karena terkadang aku mampu juga bergabung dengan yang lain.


*
Aku mengetahui beberapa orang. Lebih tepat kusebut sebagai mereka. Kukenal setiap aku berganti kelas dan berganti tempat. Persahabatan di lokasi. Hmm... mirip cinta lokasi. Aku selalu dekat dengan siapapun yang menghabiskan waktu denganku. Sejauh ini aku berusaha begitu. Mereka menjadi pengisi hatiku saat sepi. Mereka semua teman-teman sebangkuku, temanku saat berjalan pulang ke rumah, dan temanku saat menghabiskan waktu di jalan.

Aku mengenal beberapa orang sudah sejak lama. Aku mengenal mereka semua dengan baik. Mengerti apa yang mereka rasakan. Paham tentang semua kebiasaan yang dilakukan. Aku dan mereka bisa tertawa bersama. Tapi, sulit bagiku untuk menangis bersama mereka. Maaf, bukan aku tak percaya. Hanya saja, ketika itulah hatiku bicara. Aku ada disini untuk mereka, namun tak apa bila mereka tak ada walaupun aku membutuhkan mereka.


*
Aku mengenal beberapa orang. Pada situasi yang berbeda. Pada kesempatan yang berbeda. Pada waktu yang berbeda. Bila disatukan, aku tidak yakin kami semua bisa cocok.
Dia menjadi seseorang yang penting dalam hidupku. Hingga kini, saat ia seringkali mengatakan bahwa aku adalah belahan jiwanya. Walau aku sendiri belum yakin. Aku memang belum pernah menangis di depannya. Tetapi banyak waktu yang kami habiskan berdua lewat tertawa. Banyak kesamaan diantara kami, banyak perbedaan yang mampu dipadukan, namun ada juga nasib yang membuat kami menyadari bahwa kami berbeda. Tahukah, ketika aku menuliskan ini, dia mengirimkanku sebuah pesan singkat yang berisi:
"Cahaya bukan hanya sebuah nama pelita, tapi menerangi kelamnya hati. Cahaya bukan padam karena hitam, tapi dia padam tanpa banyak makna menjiwainya. Tapi, yang kutahu... cahaya yang kupunya adalah kamu. Kamulah cahaya jiwa, digundah dan dukaku."
Tidakkah kami saling memikirkan di saat bersamaan tanpa sengaja?


*
Aku mengenal satu orang ini sudah cukup lama. Dia seseorang yang secara fisik mungkin tak sempurna. Ada kecacatan yang membuat hidupnya terbatas. Namun, entah kenapa seringkali aku melihatnya sangat sempurna. Banyak hal yang membuat kami menangis bersama. Banyak kenyataan yang membuat kami belajar. Banyak waktu terlalu sulit kami habiskan bersama. Tetapi kami seringkali saling merindu. Dia sangat sederhana dan terlalu biasa saja. Justru semua itu membuat ketidaksempurnaannya menjadi sesuatu yang mampu kuterima apa adanya.

*
Banyak orang yang terlalu sulit untuk diceritakan. Setiap orang yang kukenal punya makna berbeda dalam hidupku. Tidak sekedar teman, teman baik, sahabat, atau sahabat baik. Kehidupan seseorang pun akan berbeda ketika mereka melihat orang-orang di sekitarnya. Menjadi lebih berwarna.
Tak peduli beberapa orang yang membuatku kecewa. Berapa teman yang secara tak sadar meremehkanku. Berapa sahabat yang tak sengaja membenciku. Berapa teman baik yang telah membohongi. Berapa teman yang telah mengkhianati. Biar saja aku yang tahu bahwa aku kecewa. Namun, mereka akan tetap menjadi bagian dari hidupku.

Ketika berada di titik yang belum jauh ini. Ada beberapa orang yang kuanggap lebih dari itu semua. Aku punya beberapa orang yang menganggapku kakak dan aku menganggap mereka adik. Saudara. Saat itu semua terasa menjadi lebih indah. Keluarga. Walaupun tidak memiliki warna darah yang sama merahnya.

Sahabat terbaik. Dia menjadi satu orang yang selama ini kuanggap pelengkap hidup. Pengaruh terpenting di dalam hidupku. Banyak hal yang mampu kupelajari darinya. Hingga aku sendiri tak peduli akan anggapannya tentangku.


*
Tentang teman, teman baik, sahabat, sahabat baik.
Menilai setiap orang dalam hati tentunya menjadi kepentingan diri sendiri. Lantas biar saja semua terasa sendiri dalam batin kecil ini.
Terserah saja akan berada dimana diri kita di mata orang lain. Hanya saja memberikan kebaikan tanpa peduli kesalahan mereka akan lebih menenangkan. Karena kita mungkin tidak menyadari saat telah melakukan suatu kesalahan.






*ketika seseorang merasa hidupnya dimiliki sahabatnya. itukah sahabat?*

Sabtu, 23 Mei 2009

- MimPi -


Malam ini aku menemukan sebuah tulisanmu. Tepatnya komentar pendek atas suatu wacana. Namamu akhirnya kembali lagi dapat kubaca walaupun hanya dari sini.  

.... apa sih yang membuat pelaksanaan eksekusi menjadi sulit???! biaya eksekusi yang mahalkah yang menjadi kendala? .... atau para yudikatif kita yang banci??sgt mengenaskan,katanya negara kita ini negara hukum ...  


"Hei, aku berhasil!" 
"Hah?" 
"Kasus pertamaku." Kamu memegang sebuah map dan menunjukkannya padaku. Lalu, kamu tertawa puas sekali. 
"Kamu sendiri yang menanganinya?" 
"Belum. Yang jelas, ini kasus pertama yang berhasil." 
"Lantas, kapan kamu akan benar-benar jadi pengacara?" tanyaku meremehkan. 
"Tunggu saja. Segera. Sebelum kamu berhasil meraih mimpimu." 
Aku hanya tersenyum. 
"Loh, nggak percaya?" 
"Aku percaya." Aku selalu percaya padamu.  
"Bagus." 
"Omong-omong, kasus apa ini? Pembunuhan? Korupsi? Perceraian?" 
"Bukan. Narkoba." 
"Kasus biasa." Ucapku sok tahu. 
"Terserah. Yang jelas, tidak semudah yang kamu bayangkan." 
"Jadi, klienmu tidak bersalah?" "Tidak, dia bersalah." 
"Lalu, kenapa kamu mau membelanya?" 
"Uang. Maju tak gentar membela yang bayar." 
"Kemana nuranimu?" "Nuraniku lebih membela perutku." 
"Kenapa kamu mau?" 
"Ini perjalanan menuju mimpi, sayangkuuu..." 
*  

Aku percaya bahwa kamu masih terus berjuang meraih mimpi-mimpi itu. Mimpi yang dulu pernah kamu katakan padaku. Dan kini mungkin sudah mulai mampu kamu genggam perlahan.  

Lebih dari setahun kita tak lagi saling bertemu. Bahkan bertukar kabar. Yah, aku tahu benar posisi dan situasimu saat ini. Tak mungkin lagi kita bisa beradu pendapat. Akan menjadi terlalu egois.  

Aku hanya ingin kamu tahu bahwa mimpiku masih tetap menjadi mimpiku. Walau bagian tentang bersamamu harus kuhilangkan dengan paksa. Namun, itu akan menjadi bagian yang terindah dalam perjalanan hidup yang kulalui.  

Kini yang kutahu, aku sudah berjalan sampai di sini. Mencoba menggapai mimpi-mimpiku. Meski tanpamu.

Tapi, kamu harus tahu bahwa aku sedang mencoba meraih mimpi ini dengan bantuan orang lain. Seseorang yang kini kuanggap jauh lebih berarti dari keberadaanmu sekarang.


Jumat, 08 Mei 2009

menjadi pilihan


Pagi ini sama saja seperti hari biasanya. Setidaknya itu yang terasa. Ketika terbangun, tak ada dia lagi di sisiku. Harus kusadari walau masih terlalu sulit diterima. Sepi itu sebenarnya sudah hilang ketika ada lain yang datang. Seseorang yang selalu tertawa bersamaku di sini setiap malam. Banyak kata yang dia ucap melalui bahasa yang dia lontarkan. Namun terkadang aku merasa rindu akan kehadirannya. Terasa dia begitu jauh dan terlalu sulit untuk mampu menatap matanya. Ragu untuk meyakinkan diriku sendiri. Selalu saja rasanya seperti. Tidak jelas. Entah apa yang menghadirkan semua ini. Atau semua karena keraguan dan ketidakjelasanku sendiri?  

Dia menatapku. Duduk di hadapanku. 
"Kamu menyukai hari ini?" tanyanya dengan senyum. 
"Iya, aku selalu suka hari-hari kita bersama." jawabku. 
"Kamu bisa merasakan aku dan kamu menjadi kita?" tanyanya. 
Hmmm... aku sedikit bingung. 
"Maksudmu? Kita?" 
"Entah." 
"Tunggu! Entah?" aku sedikit kesal.
"Entah.Biar saja. Bukan sekarang aku akan menjawab." 
"Lantas?" aku butuh kepastian. 
"Tidak dalam dua tahun ini." 
Aku terdiam. Selama itukah? Ketika aku sudah cukup tua. Sewaktu aku mungkin seharusnya membuka hati pada orang lain dan aku masih harus menunggunya. Tidakkah sia-sia menunggu selama itu? Sedangkan perasaan ini tetap saja tidak pasti walaupun aku bersamanya.  

"Hei..." panggilnya. 
Aku tersenyum. Dalam hati mencoba mengumpulkan keberanian.
"Kamu pernah memikirkanku?" 
"Selalu." 
"Maksudmu?" 
"Aku selalu memikirkanmu."
"Sampai kapan?"
"Maksudmu?" dia balik bertanya. 
"Iya, sampai kapan kamu akan memikirkanku?" 
"Aku tak tahu." 
Dia saja tak tahu. Lantas, apakah aku harus mengetahuinya dan menerkanya sendiri? Aku ragu.
"Pernahkah kamu berpikir bahwa ada seseorang yang mencintaimu sampai mati?" 
"Berpikir? Menyangka pun tidak. Aku terlalu malas membicarakan cinta. Biarkan ia datang saja nanti." "Kalau tiba-tiba cinta itu justru pergi?" tanyaku. 
"Biarkan saja. Mungkin memang dia harus pergi." 
"Lalu kamu bisa hidup tanpa cinta?" tanyaku lagi. 
Dia terdiam. 
Lalu aku pun pergi. Kembali ke rumah. Merebahkan diri di atas tempat tidurku. Kutumpahkan lelahku. Sejenak kumenangis. Kumenoleh ke kanan, dimana dulu biasanya ada dia. Aku ingin lagi menemuinya. Aku cuma tahu bahwa dia yang mencintaiku sampai rela mati di tanganku. Aku hanya ingin memohon maaf padanya dan menjadi kekasihnya lagi seperti dulu.  

'SRET!' 
Seketika darah mengalir di pergelangan tanganku. Rasanya sakit sekali. Cara klasik yang membuatku masih bisa menikmati sisa hidup. Aku bahkan masih bisa mendengar sebuah sms masuk di handphone. Beberapa detik lagi aku meninggal dunia, namun aku tetap berusaha membacanya dengan menahan rasa sakit: 
Aku akan memikirkanmu selamanya. Dan aku tak ingin kamu pergi, cintaku.