Sabtu, 20 Juni 2009

jantungku dan jantungmu


Melihatmu seringkali membuatku merasa terkejut. Mungkin kalau jantungmu berdegup kencang karena rasa cinta itu, jantungku berdegup kencang karena was-was dengan rasa cintamu itu. Semua hal seolah-olah menjadi disetujui logikamu bila kamu memikirkan cintamu itu. Padahal semua sangatlah tidak masuk akal ketika cinta itu sedang memenuhi seluruh sudut ruang duniamu sendiri. Yah, seperti banyak orang lain bilang, dunia serasa milik berdua. Aku hanya kamu anggap sebagai buku harian yang siap ditulisi kapan saja kamu butuh, tanpa pernah mendengar pendapatku, kamu menikmati saja indah harimu dengan cinta itu.

Satu bulan lalu kamu bercerita bahwa pangeran gagahmu ini adalah seorang tampan yang pintar, kaya raya, baik hati, tidak sombong, dan menyukai dirimu apa adanya. Lalu, sehari setelah kamu menerima cintanya penampilanmu berubah. Katamu, jantungmu berdegup semakin kencang mendengar kata-kata romantisnya yang memuja kecantikanmu. Aku juga punya jantung yang berdegup semakin kencang ketika setelah itu kamu mengajakku pergi ke mal dan menghabiskan limit kartu kreditmu hanya untuk membeli high heels, beberapa alat make-up, dan sebuah baju terusan feminim. Jantungku bahkan mau copot rasanya melihatmu memakai semua itu keesokan harinya. Kamu yang biasa memakai sepatu flat, kemeja, dan jeans tanpa perona pipi. Tiba-tiba menjadi seperti mbak-mbak SPG di PRJ.

Dua hari kemudian, kamu mengajakku pergi ke salon karena katanya jantungmu berdegup semakin kencang saat dia mengatakan kalau rambutmu akan semakin indah bila kamu memanjangkan rambut pendekmu itu. Aku merasa jantungku tergeletak sebentar di lantai salon ketika melihatmu menyambung rambut dan mewarnainya seperti jengger ayam. Kamu mengajakku foto-foto, membuatku tampak semakin bodoh disandingkan dengan kamu yang super duper tampak feminim dan gaul.

Dua hari kemudian, kamu meneleponku dan bercerita bahwa jantungmu berdenyut cepat saat kekasihmu itu mencium bibirmu dan menjamahi tubuhmu. Tentunya saja jantungku seakan sepuluh kali berdegup lebih kencang dari biasanya setelah mendengarkan kebodohanmu itu. Dua hari kemudian, kamu mengetok pintu rumahku pukul satu pagi dan membuat jantungku berdegup kencang dan semakin kencang. Apalagi ketika tiba-tiba kamu tersenyum bangga setelah dia berhasil merenggut keperawananmu. Ketika itu kamu berhasil membuatku terkena serangan jantung. Untung saja kesehatanku masih cukup baik hingga aku masih tetap bisa hidup.

Dua minggu kemudian, kamu memintaku menemanimu ke apotik dan membeli alat tes kehamilan. Jantungku kembali dipermainkan olehmu ketika kamu mengatakan bahwa sudah ada janin yang tumbuh di dalam rahimmu. Kamu menangis. Katamu jantungmu seakan berhenti berdegup saat harus mengatakannya pada kekasih hatimu itu. Dua hari kemudian, kamu membawaku ke sebuah klinik bersalin tak resmi untuk menggugurkan kandunganmu. Hari itu aku sama sekali tak melihat manusia bejat yang telah merenggut kenormalan fungsi jantungmu. Jantungku pun berdetak kencang. Bukan karena kaget akan keputusanmu. Tetapi karena mendengar ceritamu tentang kata-kata laki-laki itu bahwa cara ini adalah yang terbaik bagi semua. BIADAB!!!

Dua hari kemudian, orang tuamu meneleponku. Jantungku seakan tergetar ketika mendengar bahwa kamu dirawat di rumah sakit akibat proses menggugurkan kandungan itu. Setibaku di ruang rawatmu, kamu tergolek lemas, terbius infus, dan pria jahanam itu sama sekali tak ada di sampingmu. Hanya ada ibumu yang tak berhenti menangis. Lalu, ayahmu yang menanyaiku tanpa ada putus karena mencemaskanmu.

Dua hari kemudian, waktu aku sedang mencoba menikmati degupan jantungku sendiri karena cinta dari seorang pria, sebuah SMS masuk ke handphone milikku. Ternyata, berita duka cita... Jantungmu benar-benar telah berhenti berdenyut untuk selamanya. Ketika itu, jantungku seakan ikut mati.

Dua jam kemudian, aku tiba di rumahmu. Menatap jenazahmu. Terbujur kaku tanpa detak jantung. Hitam dan sendu memenuhi seluruh bagian rumahmu. Memperhatikan sekeliling. Seketika jantungku berdebar kencang sekali, tubuhku terasa panas, dan emosiku memuncak... Ibumu menampar wajah laki-laki yang ada di sampingku, lalu berteriak: "KURANG AJAAARR!!!"




Dia... Laki-laki yang memakai kemeja putih dan berdiri di sampingku adalah kekasih hatiku yang baru, perebut jantungku, sekaligus perenggut keperawanan belahan jiwaku dan membuatnya tak sanggup lagi merasakan denyut jantungnya.

Kamis, 18 Juni 2009

kalau aku sudah tahu caranya



dr. Arina Larashati. Shati. Singkatnya begitu saja. Itu aku. Perempuan 28 tahun yang telah menjadi dokter di sebuah rumah sakit swasta cukup terkenal di daerah Jakarta Timur. Aku anak ke empat dari delapan bersaudara. Aku hidup dengan diriku sendiri. Mendunia bersama cintaku sendiri.

Sekarang aku sedang bersama kekasihku. Dia laki-laki berumur 26 tahun yang sudah 4 tahun kupacari. Aku dan dia sedang bertemu di sebuah sudut sebuah kedai kopi kecil di ujung komplek tempat tinggalnya.
*

Kamu menyalakan rokok. Lalu, menghisapnya dalam-dalam.
"Nggak pulang lagi malam ini?" tanyaku.
"Lagi nggak pengen sama kamu." jawabmu.
"Kenapa?" tanyaku.
"Luka-lukamu tuh bikin ilfil." jawabnya singkat.
"Loh, kan kamu yang bikin." jawabku.
"Kamu kan dokter. Harusnya tau gimana caranya ngilangin luka dengan cara yang cepet," ujarnya sambil melihat lebam di pipiku, "lagipula tuh kamar udah sumpek banget rasanya. Bersihin kek!" lanjutmu.
"Itu kan kamarmu." jawabku.
"Kamar kita kan, Sayang?" kamu tersenyum sambil membenarkan letak poni rambutku.
Aku terdiam.

"Udah ah. Pergi dulu yah." kamu tersenyum lagi.
Aku mencoba meraih tangannya. Tak rela ditinggalkannya.
"Nanti kalo butuh telepon aja." kamu mencium kepalaku.
Aku terdiam. Menyaksikan langkahnya kelamaan hilang.

Duduk sendirian masih di tempat yang sama. Setelah melihatnya pergi dan memutuskan tidak menghabiskan malam bersamaku. Memikirkan cara untuk berhenti tergila-gila padanya. Mencari alasan untuk menyudahi semua rasa cinta kepada kekasihku sendiri. Menghapus lembaran kisah yang telah kuceritakan selama bertahun-tahun. Menyudahi semua luka yang selama ini selalu ia sayatkan padaku.

Membunuhnya? Lalu, aku masuk penjara dan membiarkannya mati dengan mudah? Tidak. Memutuskan jalinan cinta kami berdua? Lalu, dia akan dengan mudah menerorku dan menceritakan kemampuannya merenggut keperawananku pada pacar baruku nanti? Tidak. Mendatangi orang pintar dan membuatnya jatuh cinta kepadaku tanpa syarat? Lalu, aku dikutuk Tuhanku sendiri karena menyekutukanNya? Tidak. Selingkuh dengan laki-laki lain? Lalu, dia akan membunuh laki-laki selingkuhan yang tidak berdosa itu? Tidak. Lantas... Apa yang harus kulakukan?

Terlalu lelah menghabiskan tiap malam bersamanya. Bertiga menyatu bersama kasur di atas tempat tidur yang baunya sudah sangat penuh dengan kenistaan. Cuih... Aku saja rasanya ingin muntah bila sedang terlelap di atasnya. Namun, cintaku padanya membuatku menyerahkan segala kebanggaan diri. Hanya karena takut kehilangan peluknya. Lima tahun. Hanya di atas kasur kamarnya. Begitu saja dengan cara yang itu-itu saja. Dia bisa dengan mudah menamparku, mencaciku, lantas menyetubuhiku begitu saja. Bila sudah, ia akan bercinta dengan rokok dan minuman kerasnya.

Umurku sudah tidak muda lagi. Semua adik dan kakakku bahagia bersama keluarganya. Orang tuaku saja sudah mati karena jengah dengan hubungan anehku dengannya. Tanpa ada orang lain tahu bahwa aku yang seorang dokter dengan kekayaan berlimpah, tersungkur di bawah hinaan seorang laki-laki pemabuk sepertinya. Maka aku adalah seorang yang sangat hina.

Terlalu sulit untuk membuatnya pergi. Kini, satu-satunya hal yang terpikirkan adalah membuatku pergi dari hidupnya. Selamanya. Sudah tidak ada gunanya aku berada di dunia ini bila harus tersiksa menjauhi dia, apalagi bila ia terus sanggup membuatku jatuh dalam jerat cintanya. Maka, cara paling mudah untuk pergi dari dia adalah... MATI...

Bagaimana cara mati yang paling tidak menyakitkan? Aku sendiri yang seorang dokter sama sekali tidak tahu caranya. Hanya tahu kalau cara mati yang dikehendaki sendiri adalah bunuh diri. Tanpa tahu caranya. Maka, aku akan mencari tahu cara itu. Segera. Lalu aku akan mati, pergi selamanya dari hidup laki-laki yang sangat kucintai itu. Nanti, kalau aku sudah tahu caranya.

butuh jeda


Sebenarnya bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan terlalu berlebihan ketika langkah ini menentukan arahnya sendiri.

Menjadi bukan perkara apa-apa ketika waktu yang dilalui terasa terlalu cepat, padahal kaki ini sudah berusaha keras untuk terus berlari.

Pagi yang berubah menjadi siang, seketika bisa menjadi sore, dan dalam kejapan mata langsung berubah menjadi malam.

Satu, dua, tiga, hingga sampai seratus, mungkin seribu. Hitungan menjadi semakin banyak dan lebih dari satu digit.

Tak salah bila merasa jengah, lelah, dan mau marah. Namun, mimpi itu masih jauh di angan. Terlalu tergesa bila ingin menyerah. Jalan yang ditempuh sudah terlalu jauh, tak mungkin berputar, pengecut bila ambil jalan pintas, dan akan menjadi malu bila harus jalan berbalik.

Tidak sekedar membutuhkan tangan untuk meraih, bahkan tak sanggup bila di bantu kaki yang menjinjit. Menaiki kursi masih terlalu sulit, kursi yang ada di atas meja pun tak sanggup ikut membantu. Butuh tangga dengan banyak anak. Tidak cukup itu, masih harus ada jalan yang lebar, setapak, berbatu, berbukit, bahkan jurang yang dalam.

Lalu, akan dibutuhkan istirahat yang sejenak saja. Ketika semua terasa melelahkan, saat perjuangan membutuhkan helaan nafas panjang, dan pejuang itu sendiri terlalu lelah untuk terus bersemangat.

Tiang yang kokoh suatu saat bisa saja hancur. Batang pohon yang besar dan kuat seketika bisa saja tumbang. Lantas, tubuh yang tegar pun pantas jika merasa lemah.

Semua ini bukan berarti kalah. Tak berarti besok akan terdiam di tempat tanpa bergerak. Pantang menyerah untuk menyongsong matahari. Urung pulang bila malam belum datang.

Ini bukan maksud menunjukkan bahwa kisah ini adalah yang paling menyedihkan. Karena setiap nurani menceritakan kisahnya sendiri. Masing-masing insan memiliki sakit yang berbeda.



Bila saja ada satu jarak pendek yang bisa diciptakan. Sesaat saja. Hanya butuh jeda. Satu spasi saja sepertinya akan membuat semua bisa terasa lebih lega.








(tidak hanya kamu.... semua orang akan membutuhkan jeda...)

_buka mata, hati, dan telinga untuk bisa berbagi rasa, tangis, dan tawa_




Kamu mengambil lagi rokok dan menyalakannya lagi dengan api. Menghisapnya. Memejamkan mata sesaat. Lalu, tak lama kamu pun menghebuskan asap dari mulutmu. Kamu terdiam. Menikmati hisapan demi hisapan rokokmu. Tak ada suara. Tak bicara. Hanya asap yang keluar dari bibirmu seolah mencoba menggambarkan gundahnya jiwa.

Detik, menit, jam, hari, minggu, dan bulan yang kamu lalui terasa begitu membebani. Kehidupan yang sedang kamu alami sedang penuh tekanan. Banyak hal yang harus kamu raih. Ada tumpukan tugas yang harus kamu selesaikan. Beberapa masalah pun membuatmu sibuk dengan diri sendiri.

Kutatap wajahmu, matamu, dan gerak tubuhmu. Ada lelah yang tampak di sana. Cemas, takut, sedih, dan gulana itu yang paling tampak. Fikiran dan hati itu sekarang tampak memikirkan dirinya sendiri. Tidak lagi mampu membuai orang lain dengan keteduhan dan kesediaan mendengarkan segala keluh kesah. Kamu ingin didengar, dilihat, dan dipedulikan. Sedikit saja.

Aku masih mencoba mengamati dari sini. Memandangmu yang tampak kuyu dengan segala beban itu. Tetapi kamu mencoba bertahan, mencoba menyimak dengan baik, karena semua tahu dirimu begitu adanya.

Kamu tetap mendengarkan cerita cintanya, mendengarkan sakit hati yang dialaminya, mendengarkan luka batin yang dideritanya, dan mendengarkan tangis jiwa yang dirasakannya. Tanpa dia tahu tentang apa yang sedang kamu alami.

Aku masih dari jauh menatap.

Kamu bersikap yang tidak biasa ketikan dia meminta saran darimu. Hingga... Kamu menghela nafas sambil membuang abu di ujung rokokmu itu.
"Jalani hidupmu. Coba lupakan itu!" kamu bangkit dari tempat duduk, lalu pergi. Kembali menghisap rokokmu. Untuk kali ini kamu pergi. Bukan tidak peduli. Hanya butuh ruang untuk sendiri.




Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga
(Maliq and D'Essentials-Mata Hati Telinga)





Kamu terlalu banyak mendengar soal cinta. Terlalu banyak manusia yang percaya dengan cinta. Semua orang di sekitarmu menggilai cinta. Seakan hanya kamu yang hanya bisa sadar dengan kebodohan yang dibuat oleh cinta yang gila itu. Seperti tinggal kamu yang sanggup mendengar segala cerita tentang derita cinta itu. Seolah tubuhmu saja yang belum dirasuki racun cinta itu.

Kamu selalu ingin menyelesaikan yang lain selain cinta. Kamu terus berharap bisa mengerjakan hal lain tanpa memikirkan cinta. Kamu terus berpijak pada langkah yang tak hanya mengejar cinta. Kamu terus mencari hikmah dari semua misteri yang tak pernah terpecahkan, tetapi itu bukan cinta. Buatmu, banyak hal yang lebih penting dari sekedar ucapan cinta. Kamu tak sadar bahwa mata, hati, dan telinga pada tubuhmu terlalu terbuka mengenali segala cita-cita lain. Lalu, pada akhirnya, kamu terlalu menutup diri untuk membuka hati pada seorang cinta.

Aku masih mengikutimu. Membuntutimu dari sini. Mencecapi setiap jejakmu yang terlalu rapuh.

Kamu seketika berhenti. Ini pada sebuah hutan luas yang terlalu indah untuk ditakuti. Namun, kamu sendirian. Hingga rasa takut itu menghinggapi kesepianmu. Lalu, kamu mencari sebuah pohon yang paling besar. Terduduk di bawahnya. Mematikan rokokmu. Melingkarkan lututmu, menundukkan kepala. Lantas, kamu mulai menangis.

Aku tetap menatapmu.

Kamu terisak. Perlahan sekali. Hingga di hutan seluas ini pun tak ada yang mendengar. Kamu merasakan keberadaan yang hanya dirimu sendiri. Tak ada yang lain. Tanpa cinta. Tanpa ada tempat untuk berbagi rasa, berbagi tangis, dan berbagi tawa. Kamu mulai menyadari bahwa kamu membutuhkan seseorang. Mulai menyadari bahwa kamu membutuhkan apa yang selama ini orang lain butuhkan dari dirimu.

Aku masih menyaksikanmu.

Pertahanan tegapmu itu seketika runtuh. Kamu tak seteguh itu. Kamu menjadi rapuh.

Lantas, masihkah kamu bisa membuka mati, hati, dan telinga untuk hal lain saja? Tidak pada satu kata itu? Tidak menuju ke perwujudan kata itu?

Aku memperhatikanmu semakin seksama. Berjalan ke arahmu.

Memegang bahumu dan duduk di sampingmu. Diam saja.

Kini, di hutan luas ini. Tempat yang terlalu indah ini. Ada kamu yang sendiri. Ada aku yang sendiri. Ada kita berdua. Di bentangan alam ini ada jejakku di sampingmu, ada langkahku mengiringimu, ada senyumku menemanimu, ada tawaku menghiburmu, dan ada tangisku meratapimu.

Jadi, mari berjalan ke depan sana. Pada tempat yang jauh dan entah berujung dimana. Jangan tengok ke belakang. Jangan takut gelap. Jangan takut terik matahari. Jangan takut rintangan. Bila saja kamu jatuh, aku akan ulurkan tangan. Tidak perlu kita melangkah bersebelahan. Cukup saja kamu tahu bahwa aku ada.