Kamis, 10 September 2009

Berhenti Menunggu






Dia selalu tak pernah absen meraih tanganku saat aku terpuruk. Menyentuh hatiku ketika tangis menyelimuti, hingga air mata terhapus oleh bahagia. Dia selalu bilang bahwa sedikit senyum menjadikan aku semakin tegar menjalani hari yang seringkali terasa pelik. Bukan matanya yang meneduhkan, bukan dirinya yang menguatkan, bukan tawanya yang menyejukkan, tetapi kata darinya yang selalu membuatku merasa utuh.

”Apakah aku akan menemukan tepian?” aku menatapmu saat malam berusaha kita habiskan selayak biasanya.

”Pada hati yang terlalu luas? Kurasa tidak.” kamu menatap langit dan menghela nafas seolah putus asa.

Kalimat itu selalu membuatku meragu, memaksakan diri untuk terus berpacu. Meresapi setiap waktu yang bisa kuhabiskan bersamanya. Diantara kegundahan, perih, takut, tawa, dan bahagia. Aku bisa menemuinya setiap saat bila dunia membuatku terluka. Bukan dengan belaian sayang dia mendekapku, tetapi kekuatannya yang berhasil menampar kekalahanku. Lalu, aku sanggup berdiri dan berjalan kembali menentang prahara.

”Kemana aja?” dia bicara kala satu waktu bertemu denganku setelah sekin lama.

”Kamu yang kemana aja?” perlawanan tegas kuucapkan sebagai wujud kerinduan.

”Setiap malam aku menunggu.”

”Disaat aku menunggumu?”

”Tidakkah kamu hendak membunuh jemu itu?”

”Haruskah aku?”

”Bila saja kamu mau sedikit berkorban.”

”Lalu, aku memperjuangkanmu? Tidakkah sebaliknya?”

”Aku ingin kamu sekarang.”

”Aku ingin kamu juga. Tapi tidak sekarang. Sanggupkah kamu menunggu lagi?”

”Diantara sepi dan kesendirian bersama ketidakpastian yang sanggup membunuhku?”

”Tidak. Aku akan menemanimu walau sempitnya waktu membatasi kita.”

”Kamu pikir aku sanggup?”

”Aku tidak memohon. Tapi aku berharap.”

”Lantas, aku akan bilang aku lelah. Aku berhenti saja.”

”Disini? Membiarkanku sendiri?”

”Tidak. Kamu bersama mimpimu. Biarkan aku bersama dia.”

”Dia? Mimpimu?”

”Bukan. Dia yang sanggup selalu ada bersamaku.”

”Membunuh mimpi kita?”

”Aku hanya mencoba merealisasikan mimpimu yang bukan aku.”

Ia pergi membalikkan langkah, berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Membiarkan aku memecah sunyi dengan tangisan yang menyiksa. Membuat seumur hidupku akan mengingat dengan jelas tentang setiap suara jejak yang ia tinggalkan.




*ketika menatap sebuah foto*