Selasa, 03 November 2009

Perempuan Paling Berarti Dalam Hidup

Pada ruangan 4 X 5 meter ini aku termenung dalam kegelapan menuju lelap. Sendirian seperti setiap malam biasanya. Menggantungkan bayang tentang tempat nun jauh di sana yang selalu hangat memeluk kala tubuh mulai merapuh. Rumah. Satu-satunya tempat tujuanku untuk kembali setelah terbang melambung ke langit luas mengerikan. Sekarang, aku sedang jauh dari tempat terindah yang menjadi istana termegah dalam ruang hatiku. Aku sungguh merindu setiap jiwa yang ada di dalamnya, dimana mereka selalu terucap dalam setiap hembusan nafasku dan menjadi bagian dari doa yang tak pernah putus.

Kini, aku akan bercerita tentang salah seorang yang ada di dalamnya. Perempuan yang paling berarti dalam hidupku, mungkin tanpa pernah kusadari. Namun, aku tak pernah berhenti untuk selalu menyebut namanya dalam setiap kegundahan yang mencoba menghancurkanku. Ibu. Dia yang selalu menjadi musuh terbaikku sekaligus kekuatan terbesarku untuk merenggut mimpi-mimpi yang masih tergantung. Sosok yang selalu kurindukan dalam setiap kali kepulanganku, karena aku ingin sekali selalu mendekapnya erat dan tak ingin kulepaskan.

Kata banyak orang, melihatku seperti melihat ibuku. Tak bercela wajahku menyerupainya, tetapi bagiku dia jauh lebih cantik dan sempurna daripada aku. Menjadi anaknya dan bagian dari keluarganya adalah satu-satunya kenikmatan yang tak kan pernah berhenti untuk kusyukuri. Aku sungguh terlena menjadi anak yang pernah lahir dari rahimnya. Walaupun, dia tak pernah mau bercerita jelas tentang caranya melahirkanku ke dunia ini. Aku paham benar, mungkin aku terlalu merepotkan waktu itu, tidak… bahkan sepertinya hingga sekarang aku terus membuatnya tak bisa melangkah dengan tenang.

Luasnya langit di angkasa menggambarkan betapa besarnya cintaku padanya. Tulus, tak berbatas, walau terkadang mungkin aku lengah mengabaikan kebaikannya. Rasanya aku tak akan pernah berhenti memohon maaf dan bersujud di kakinya, karena aku terlalu banyak menyakiti hatinya, terlalu banyak membuatnya memikirkanku, terlalu banyak membiarkannya kelelahan menjalani hari, dan terlalu banyak melupakan kata-katanya. Maaf, karena aku terlalu sering menjadi anak yang terlampau peduli pada diri sendiri.

Ibuku suka bernyanyi dan menciptakan lagu. Ia suka sekali bernyanyi diiringi orgen tunggal saat acara resepsi keluarga, lagunya tentang I Have a Dream dari Westlife. Ia suka menciptakan lagu tentang keluarga dan rumah kami. Sayangnya, aku tidak sanggup mengingat lagi secara utuh lagu-lagu itu. Tidak hanya itu, dia selalu memberi nama kepada semua boneka yang dulu sempat kumiliki. Lalu, dia juga selalu memarahiku setiap kali pulang mengambil rapor sekolah. Lantas dengan berani, saat duduk di sekolah menengah, aku memintanya tidak lagi marah melihat nilaiku. Atas semua itu, aku tetap masih mencintainya sepenuh hatiku.

Belakangan ini, aku seketika ingat dengan jelas mengenai satu cerita terindah yang pernah diceritakan ibu. Dulu, sewaktu aku masih kecil dan ayah-ibuku bekerja, ia selalu menyanyi untukku. Setiap malam, saat ibuku telah kembali dari kantor dan aku sedang bersiap untuk tidur. Ibuku menggendongku dalam kain panjang batik dan membawaku keluar rumah, ia memberikan botol susu ke dalam mulutku, lalu mulai bernyanyi sambil menunjukkan bintang dan bulan yang bertebaran di langit gelap. Rasanya, itu menjadi awal mula aku menggila-gilai langit dan seisinya. Ibu bernyanyi, menyanyikan lagu lama yang sepertinya tak pernah selesai kudengar akhirnya, karena aku terlanjur tertidur sebelum ibu usai menyelesaikannya.

Di wajahmu kulihat bulan
Menerangi hati gelap rawan
Biarlah daku mencari naungan
Di wajah damai rupawan

Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan
Ingin hati menjangkau kiranya tinggi di awan

Di wajahmu kulihat bulan
Bersembunyi di balik senyuman
Jangan biarkan ku tiada berkawan
Hamba menantikan tuan

Kini, tempat yang berbeda sedang memisahkan aku dan ibuku. Tetapi, sebentar lagi aku pasti pulang dan memeluknya hingga hari berganti. Aku merindukannya setengah mati dan tak kan pernah lupa mengatakan cintaku setiap dia sempat bicara padaku dari jarak jauh. Usianya sudah beranjak tua dan kurasa aku sudah membuatnya terlampau lelah. Kartu tanda penduduknya saja sudah tidak perlu diperpanjang lagi, tetapi aku masih saja merepotkannya. Lalu, pada hari ini saat ia menambah lagi usianya, aku ingin sekali tersenyum menatap wajah cantiknya itu dan berkata…

“Ibu! I lap u!!!” Memeluknya dan menciumnya berkali-kali hingga ibuku kepayahan.


******


…TERIMA KASIH IBU…



(sisa kue ibu yg ditinggal di kost)






*saat ibu ulang tahun, hanya sebuah kue kecil dan kecupan di kedua pipinya yang sanggup kuberikan*