Rabu, 20 April 2011

Tentang Waktu


Waktu masih tetap berjalan menghabiskan detik demi detik yang memang menjadi kewajiban untuk diterbitkannya. Hari juga masih saja terus berganti menemani aku yang tak sekedar sendiri menghabiskan pagi hingga malam menjemputnya. Hidup memang tak selalu sepi karena ada banyak jiwa yang saling bertemu di kala waktu masih saja memburu.


Lalu, mimpi menjadikan kita tak pernah berhenti menunggu datangnya besok. Kala kita rindukan kemarin, semua semu kenangan yang sulit tersapu dihapus harapan. Tak pantas tapi bukan berarti mudah untuk bisa menjadikannya pupus. Buat apa punya hati kalau setiap rasa tak boleh disimpan baik-baik di kedalaman ruang yang tak berbatas? Tapi, apakah masih perlu kisah yang mengganggu datangnya esok hari?


Selasa, 05 April 2011

Minggu Diantara Sabtu

(Last)

Menjelang pagi ini kamu mengenakan sepatu Adidas coklat kesukaanmu, memakai polo shirt putih, dan celana jeans hitam bermerk sama. Lalu, kilasan Bvlgari Aqua itu tersibak kala kamu melangkah melaluiku menuju pulang. Sepertinya, tak lagi akan kembali menjemput aku yang cacat karena hanya punya setengah hati.

*

(First)

"Aku punya mimpi." Ujarmu waktu itu.

"Aku juga, tapi aku punya semangat mengejarnya dalam nyata. Bukan dg mata terpejam dan hati yang membayangkan." Jawabku sambil melirikmu sinis.

"Ya, ya. Aku nggak mungkin juga kan membuta ketika hendak menyatukan kepingan masa depan?" Bantahmu.

"Halah! Bahasamu terlalu tinggi kalau cuma sekedar mendeskripsikan mimpi!" Ejekku.

"Ehh, kamu lihat ya! Aku akan bisa bangun sebuah rumah, miliki sekian harta, dan punyai mobil yang bisa membawa aku dan keluargaku pergi." Tantangmu.

"Nanti. Bukan sekarang! Kamu harus giat merajutnya, bukan sekedar dengan khayal. Tapi uang!" Jawabku sembari menatap lekat wajahmu yang teramat serius.

"Tahun depan aku akan punya rumah di Bintaro." Kau menyebutkan dengan pasti.

Aku tersenyum mendengar optimisme kamu yang menggebu-gebu.

*

(Second)

"Aku mau menikah." Ucapmu.

"Ayuk." Ajakku.

Lalu, kamu pun menjulurkan lidah menganggap ajakanku sekedar canda.

Kamu pun kembali memilih sepatu - yang lagi-lagi bermerk Adidas. Dasar Adidas minded!"

"Aku mau dia bisa menunggu. Masih banyak yang harus kucari demi membuatnya bahagia. Mudah-mudahan dia bisa bertahan di sana." Ujarmu sambil sibuk memilih sepatu.

"Bahagia sekali 'dia' itu. Tanpa banyak jerih payah tinggal menerima kamu setubuhi dan dia punya semua harta bendamu? Yakin kamu mendapatkan cintanya?" Jawabku ketus.

"Wanita berhak untuk itu. Apalagi yang aku cintai. Apalagi istriku. Dia patut bahagia." Jawabmu.

"Bahagia karena harta. Tapi, apa kamu dapat cinta?" Tanyaku.

"Tak penting! Melihatnya bahagia itu jauh lebih penting." Ujarmu.

Aku yang tahu puzzle-puzzle mimpimu. Aku yang mendengar kisahmu berjuang menyatukan tiap kepingan menjadi sesuatu. Aku yang melihat lelahmu mencari setiap keping dan mengerahkan segenap jiwa untuk sekedar menyocokkan dengan kepingan sebelumnya. Aku yang ingin sekali menyeka peluhmu kala letih sudah mengalahkan tanganmu mencari kepingan yang cocok di penghujung hari. Tapi, cuma dia yang ternyata menjadikanmu mengerahkan segala daya upaya untuk membangun sebuah RUMAH.

*

(Third)

"Dia selalu butuh aku."

"....."

"Aku kangen dia."

"....."

"Mudah-mudahan Tuhan memudahkan jalannya menuju ke aku."

"...."

"Dia lagi sakit di sana. Semoga bisa cepet sembuh."

"....."

"Dia bilang aku bikin moodnya jelek hari ini. Padahal cuma pengen kasih perhatian"

"......"

"Aku nggak pernah percaya kalo dia begitu. Mungkin lagi labil aja. Sebenernya dia baik kok."

"Dasar bodoh! Kamu mencintai orang yang sama sekali tak bisa mengerti kamu."

"Dia ngerti kok. Dia ngerti kalo aku berbuat semua hal ini karena sayang sama dia."

*

(Fourth)

"Jadi, kamu beneran benci sama orang yang aku cintai?" Katamu suatu saat.

"Iya." Jawabku pasti.

"Kenapa?" Tanyamu.

"Karena dia dianggap jauh lebih berhak memiliki hartamu dan dibiarkan merusak hatimu." Jawabku.

"Tau apa kamu tentang hatiku?!" Amarahmu meledak.

Aku terdiam. Menjawab dalam hati : hatimu adalah hati yang satu-satunya ingin kucintai.

"Merasa berhak mengaturku? Lantas berhak juga membenci dia?" Tanyamu.

"Iya!" Aku membelalakan mata kala menjawabnya.

"Kenapa sih kamu nggak pergi aja dan mencoba dengan para lelaki yang mengejar-ngejarmu? Knp musti aku?" Kilahmu.

Aku terdiam sesaat, "Baik, sekarang mau kamu gimana?" Tanyaku.

"Biarkan aku mencintainya dan biarkan kita begini adanya." Jawabmu sembari menghempas anak-anak rambut yang sesekali tertiup angin menutupi wajahku.

Angin terasa semakin dingin karena langit yang gelap sedang bermuram menunggu air matanya tumpah.

Masih Sabtu, sepulang kita menjuntai waktu berdua melihat angkasa.

"Ketika kamu berhak memilih, apakah aku boleh melakukan hal yang sama?" Tanyaku sembari menatapnya nanar. Aku tak lagi melihatnya satu, ada genangan air mata yang tertahan di kelopak bawah mataku. Menyebabkan aku mendapati banyak bayangan pada kedua mata sembabku ini.Kamu mengangguk.

"Aku memilih untuk mengalah. Maka, kamu kuwajibkan untuk menghilang dari duniaku." Jawabku.

Kamu menatapku penuh tanya. Memegang wajahku dengan kedua telapak tanganmu, lalu menyeka air mata yang terus bergulir di pipi.

"Maka kamu berhak mencintainya." Lanjutku.

Kamu tersenyum dan melepaskan tangan dari kedua pipiku. Membalikkan badan dan perlahan tubuhmu menjauh seiring langkah yang beralih. Aku, berdiri di sini. Entah sampai kapan, menunggu tubuhmu berbalik jalan ke arahku sambil tersenyum penuh rindu.

Sudah pagi. Minggu yang masih dingin karena ada diantara Sabtu dan masih jauh menuju Senin.

***