Seperti setiap Sabtu biasanya…
Aku setengah berlari memasuki Stasiun Tugu Yogyakarta setelah tu
run dari bis jalur 4
tepat di seberang stasiun. Antrian di depan loket kereta
Prameks sudah panjang sekali, mendekati pintu
masuk. Tujuh ribu rupiah aku keluarkan ketika sampai di
depan loket. Yah, telah beberapa minggu ini aku menghabiskan waktu di r
umah Eyang, di Wates. Rumahku sekarang karena
sudah lebih dari setengah tahun aku tidak punya kesempatan untuk p
ulang. Bahkan, teman-temanku sudah tak mengakui
lagi bahwa aku orang
Ketika berhasil mendap
atkan tiket, aku langsung menuju ke peron. Kereta Prameks sudah tiba di
nusia menunggu kedatangannya yang tinggal sesaat. Tak lama, kepala lokomotif
sudah menyembul dari arah
untuk bisa segera masuk, berebut, mereka beringsut masuk, termasuk aku.
Selalu saja penuh. Aku
berdiri di dekat pintu, tepat berhadapan dengan seorang laki-laki. Sepertinya, usian
ya tak jauh dari usiaku. Lalu, aku memperhatikan sekelilingku. Terdiam saja, menatap sawah-sawah
yang berlalu cepat ditinggal laju kereta. Aku akan pulang, gemingku dalam hati.
“Duduk, Mbak.” Laki-laki di hadapanku tiba-tiba berdiri.
Aku menggeleng.
“Nggak apa-apa, Mbak.”
Aku pun duduk.
“Ke Kutuarjo, Mbak?” tanyanya.
”Bukan. Wates.” jawabku.
”Pulang, Mbak?” tanyanya lagi.
”Iya.”
Aku memang akan pulang. Kutatap sawah-sawah yang kini terlihat berlari menjauhi laju kereta.
Rumah
Menjadi tempat untuk berpulang
Selalu merindu untuk sampai ke sana
Rela menghitung hari sampai kembali
Walau ribuan langkah mengharuskan untuk terus berjalan
Meraih impian yang terbentang
Namun... cerita tentang pulang tak pernah menjadi cerita yang tak dinanti