"Punya pacar gih sana!" Ucapmu ketika malam sudah terhanyut di tepian sore dan gelap sudah menodong rembulan untuk bersinar terang di langit.
Aku menggenggam tanganmu dalam balutan keringat yang selalu saja kau keluarkan tiap kulit telapak tanganku menyentuh tanganmu. Terdiam. Hanya sanggup menatap wajahmu.
"Jangan kerja melulu. Sok workaholic,deh. Gak pantes tauk!" Protesmu sembari menasehatiku.
"....." Aku masih memilih untuk terdiam dan tak melepaskan genggamanmu di tanganku.
"Kamu nggak capek apa, tiap hari bangun pagi langsung kerja? Sampe kantor belum ada orang. Kerja gila-gilaan sampe sore. temen-temen kamu udah pulang kamu belum. Matahari udah ngilang kamu baru pulang. Nggak capek?" tanyamu padaku. Semakin membutuhkan jawaban.
"Yah, kalo emang kerjaanku banyak gimana? Aku kan harus nyelesain itu semua. Kalu nggak dikerjain, besok pasti bakal dateng kerjaan lagi. Bisa numpuk kan? Mending yang hari ini aku selesein biar nggak ganggun yang besoknya." Aku mencoba membela diriku sendiri.
"Trus hidup kamu cuma berkutat sama kerjaan aja? Pulang langsung tidur. Sekali-sekali bergaul dong." komentarmu.
"Ini kita lagi ngapain coba?" tanyaku sambil menatap matamu yang bulat penuh itu.
"Jangan sama aku terus dong. Cari kenalan lain. Temen-temen kamu yang lain. Siapa tahu bisa dapet pacar. Nanti keasyikan kerja lupa lho sama yang namanya nikah. Jangan kerja terus yah!" ujarmu sambil tersenyum.
"Apa aku masih harus mencari?" tanyaku sembari mengeratkan genggamanku.
Kamu lepaskan genggaman tanganku. Memaksaku untuk mau melakukan itu. Lalu, tanganmu justru memberiku peluk hangat di bahu. Mengusap-usap punggungku sesekali. Kamu tahu benar bahwa air mataku sebentar lagi sudah akan keluar. Menahan kesedihan tentang pencarian itu.
"Kenapa tidak mencari kalau masih ada kesempatan untuk melakukan itu?" tanyamu.
"Bahkan ketika aku merasa sudah menemukannya?" komentarku lirih. Suaraku sudah mulai terisak saat kamu merengkuh tubuhku tenggelam dalam peluk tubuhmu yang hangat.
"Siapa sih yang udah kamu temuin? Apa dia pantas untuk memiliki kamu?" tanyamu. Sesekali bahkan kamu menghapus tetes-tetes air mata yang mengalir begitu saja di kedua pipiku.
"Pertanyaannya bukan itu." jawabku, "Tapi, apakah dia mau memilikiku?" kuberanikan menatap kedua matamu yang sejak tadi tak lekang memandang wajahku yang penuh air mata.
Kamu cuma tersenyum.
"Aku terlalu lelah untuk mencari. Tidak bolehkah aku yang dicari? Aku enggan lagi memberi cinta ketika rasa itu tak pernah mendatangiku. Bahkan, kini aku bingung dengan cinta itu sendiri. Masihkah aku memilikinya dalam hati?" air mataku masih mengalir. Tak ada isak. Tak ada sesak. Tetes-tetes itu mengalir begitu saja.
"Pasti ada. Nanti. Lalu, kamu akan bergandengan tangan dengan kekasihmu. Dan aku akan bergandengan tangan dengan kekasihku. Berempat, kita membahas masa depan." Kamu kini memelukku dengan kedua belah tanganmu.
"Tidak bolehkah kekasihmu dan kekasihku itu tak ada?" tanyaku.
"Kenapa? Mereka harus ada dong supaya kita kehilangan sepi."
"Aku cuma mau ada kamu dan aku."
"Nggak boleh egois." Tangan kirimu mengacak-acak rambut di kepalaku.
"Kalau aku cuma punya sayang buat kamu?"
"Ssst... Aku juga sayang kok sama kamu." ungkapmu.
"Lantas, kenapa kamu tidak bersamaku saja?"
"Karena Tuhan punya rahasia. Kita tak pernah tahu esok."
Sudahlah. Aku tak pernah mengerti tentang keinginan Tuhan. Aku cuma makhluk kecilNya yang menunggu esok datang penuh kebahagiaan karena ingin tahu tentang apa yang terjadi selanjutnya. Apakah karena aku dan kamu sama makanya kita tak bisa bersama? Aku tak pernah paham kenapa hatimu masih selalu ragu saat tubuhmu sanggup mendekapku penuh rasa yang menghangatkan. Biar hati yang memilih ia mau hati yang mana. Walau cinta tak pernah kutahu bagaimana wujudnya, tapi aku tahu bahwa hati punya keberanian sendiri untuk memilih satu hati yang bisa mendampinginya tiap hari. Lalu, sampai detik ini aku masih memilih hatimu. Iya, kamu yang sekarang memelukku di bawah langit malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar