Kamis, 06 November 2014

Untuk Dia yang Tak Percaya Pada Dirinya dan Meragukan Aku


Embun yang menyapa pagi kita selalu sama, matahari yang menghangatkan siang kita tak pernah berbeda, bahkan bulan yang menyinari malam kita saksikan serupa, lalu kamu meragukannya?

Tanah yang kita pijak sama, ruang yang menaungi kita juga tak berbeda, bahkan sekelebatan pandang kita tak jarang beradu, lalu kamu meragukannya?

Kita tak satu dua hari menghabiskan hari, mingguan? Bukan, bertahun-tahun.. Lalu kamu meragukannya?

Jika kamu sempat sekali saja bertanya, apakah aku yakin?

Jika kamu pernah seucap saja bertanya, mengapa aku mencobakan?

Maka aku pun yakin, aku tak punya jawabannya.

Kita sekedar manusia yang sudah teramat biasa bermimpi, tiap hari berharap, dan selalu saja bertemu pada ujung kecewa. Maka apa yang membuatmu tak pernah berhenti mencoba?

Mungkin jawaban kita sama, saat seperti kamu menanyakan hal yang sama untukku.

Kalau kamu tak percaya pada dirimu dan meragukan aku, kenapa tidak berlaku demikian juga padaku?

Apakah kamu jauh lebih mengetahuinya, jauh daripada aku?

Tidak. Karena kita sama.

Aku meragukan diriku yang tidak percaya kamu atas dirimu.

Tidakkah benar kalau kita ternyata, sama?

Sabtu, 07 Januari 2012


mengucap janji sehidup semati

berikrar akan setia selamanya

membuka mata dan melihat teman di samping tempat tidur

seindah itu?

sayangnya, tidak selalu….

Sabtu, 09 Juli 2011

Pada Pagi Yang Penuh Rindu

Sudah pagi..

Tidak, tapi masih pagi..

Selewat larut malam tapi mata tak bisa jua terpejam..

Terlalu sulit karena saat kupejamkan mata cuma kamu yang diketemukan..

Padahal aku tdk mencari..

Malah aku ingin menghilang..

Tenggelam dalam batas lalu merasakan sepi sendirian..

Tapi selayak gelap yang melarang, aku merindu pertemuan..

Aku dan kamu..

Tidak, aku menggenggammu..Erat..

Mencoba untuk tidak jatuh..

Dalam cinta..

Yang semestinya harus tidak boleh kuketemukan..

Rabu, 20 April 2011

Tentang Waktu


Waktu masih tetap berjalan menghabiskan detik demi detik yang memang menjadi kewajiban untuk diterbitkannya. Hari juga masih saja terus berganti menemani aku yang tak sekedar sendiri menghabiskan pagi hingga malam menjemputnya. Hidup memang tak selalu sepi karena ada banyak jiwa yang saling bertemu di kala waktu masih saja memburu.


Lalu, mimpi menjadikan kita tak pernah berhenti menunggu datangnya besok. Kala kita rindukan kemarin, semua semu kenangan yang sulit tersapu dihapus harapan. Tak pantas tapi bukan berarti mudah untuk bisa menjadikannya pupus. Buat apa punya hati kalau setiap rasa tak boleh disimpan baik-baik di kedalaman ruang yang tak berbatas? Tapi, apakah masih perlu kisah yang mengganggu datangnya esok hari?


Selasa, 05 April 2011

Minggu Diantara Sabtu

(Last)

Menjelang pagi ini kamu mengenakan sepatu Adidas coklat kesukaanmu, memakai polo shirt putih, dan celana jeans hitam bermerk sama. Lalu, kilasan Bvlgari Aqua itu tersibak kala kamu melangkah melaluiku menuju pulang. Sepertinya, tak lagi akan kembali menjemput aku yang cacat karena hanya punya setengah hati.

*

(First)

"Aku punya mimpi." Ujarmu waktu itu.

"Aku juga, tapi aku punya semangat mengejarnya dalam nyata. Bukan dg mata terpejam dan hati yang membayangkan." Jawabku sambil melirikmu sinis.

"Ya, ya. Aku nggak mungkin juga kan membuta ketika hendak menyatukan kepingan masa depan?" Bantahmu.

"Halah! Bahasamu terlalu tinggi kalau cuma sekedar mendeskripsikan mimpi!" Ejekku.

"Ehh, kamu lihat ya! Aku akan bisa bangun sebuah rumah, miliki sekian harta, dan punyai mobil yang bisa membawa aku dan keluargaku pergi." Tantangmu.

"Nanti. Bukan sekarang! Kamu harus giat merajutnya, bukan sekedar dengan khayal. Tapi uang!" Jawabku sembari menatap lekat wajahmu yang teramat serius.

"Tahun depan aku akan punya rumah di Bintaro." Kau menyebutkan dengan pasti.

Aku tersenyum mendengar optimisme kamu yang menggebu-gebu.

*

(Second)

"Aku mau menikah." Ucapmu.

"Ayuk." Ajakku.

Lalu, kamu pun menjulurkan lidah menganggap ajakanku sekedar canda.

Kamu pun kembali memilih sepatu - yang lagi-lagi bermerk Adidas. Dasar Adidas minded!"

"Aku mau dia bisa menunggu. Masih banyak yang harus kucari demi membuatnya bahagia. Mudah-mudahan dia bisa bertahan di sana." Ujarmu sambil sibuk memilih sepatu.

"Bahagia sekali 'dia' itu. Tanpa banyak jerih payah tinggal menerima kamu setubuhi dan dia punya semua harta bendamu? Yakin kamu mendapatkan cintanya?" Jawabku ketus.

"Wanita berhak untuk itu. Apalagi yang aku cintai. Apalagi istriku. Dia patut bahagia." Jawabmu.

"Bahagia karena harta. Tapi, apa kamu dapat cinta?" Tanyaku.

"Tak penting! Melihatnya bahagia itu jauh lebih penting." Ujarmu.

Aku yang tahu puzzle-puzzle mimpimu. Aku yang mendengar kisahmu berjuang menyatukan tiap kepingan menjadi sesuatu. Aku yang melihat lelahmu mencari setiap keping dan mengerahkan segenap jiwa untuk sekedar menyocokkan dengan kepingan sebelumnya. Aku yang ingin sekali menyeka peluhmu kala letih sudah mengalahkan tanganmu mencari kepingan yang cocok di penghujung hari. Tapi, cuma dia yang ternyata menjadikanmu mengerahkan segala daya upaya untuk membangun sebuah RUMAH.

*

(Third)

"Dia selalu butuh aku."

"....."

"Aku kangen dia."

"....."

"Mudah-mudahan Tuhan memudahkan jalannya menuju ke aku."

"...."

"Dia lagi sakit di sana. Semoga bisa cepet sembuh."

"....."

"Dia bilang aku bikin moodnya jelek hari ini. Padahal cuma pengen kasih perhatian"

"......"

"Aku nggak pernah percaya kalo dia begitu. Mungkin lagi labil aja. Sebenernya dia baik kok."

"Dasar bodoh! Kamu mencintai orang yang sama sekali tak bisa mengerti kamu."

"Dia ngerti kok. Dia ngerti kalo aku berbuat semua hal ini karena sayang sama dia."

*

(Fourth)

"Jadi, kamu beneran benci sama orang yang aku cintai?" Katamu suatu saat.

"Iya." Jawabku pasti.

"Kenapa?" Tanyamu.

"Karena dia dianggap jauh lebih berhak memiliki hartamu dan dibiarkan merusak hatimu." Jawabku.

"Tau apa kamu tentang hatiku?!" Amarahmu meledak.

Aku terdiam. Menjawab dalam hati : hatimu adalah hati yang satu-satunya ingin kucintai.

"Merasa berhak mengaturku? Lantas berhak juga membenci dia?" Tanyamu.

"Iya!" Aku membelalakan mata kala menjawabnya.

"Kenapa sih kamu nggak pergi aja dan mencoba dengan para lelaki yang mengejar-ngejarmu? Knp musti aku?" Kilahmu.

Aku terdiam sesaat, "Baik, sekarang mau kamu gimana?" Tanyaku.

"Biarkan aku mencintainya dan biarkan kita begini adanya." Jawabmu sembari menghempas anak-anak rambut yang sesekali tertiup angin menutupi wajahku.

Angin terasa semakin dingin karena langit yang gelap sedang bermuram menunggu air matanya tumpah.

Masih Sabtu, sepulang kita menjuntai waktu berdua melihat angkasa.

"Ketika kamu berhak memilih, apakah aku boleh melakukan hal yang sama?" Tanyaku sembari menatapnya nanar. Aku tak lagi melihatnya satu, ada genangan air mata yang tertahan di kelopak bawah mataku. Menyebabkan aku mendapati banyak bayangan pada kedua mata sembabku ini.Kamu mengangguk.

"Aku memilih untuk mengalah. Maka, kamu kuwajibkan untuk menghilang dari duniaku." Jawabku.

Kamu menatapku penuh tanya. Memegang wajahku dengan kedua telapak tanganmu, lalu menyeka air mata yang terus bergulir di pipi.

"Maka kamu berhak mencintainya." Lanjutku.

Kamu tersenyum dan melepaskan tangan dari kedua pipiku. Membalikkan badan dan perlahan tubuhmu menjauh seiring langkah yang beralih. Aku, berdiri di sini. Entah sampai kapan, menunggu tubuhmu berbalik jalan ke arahku sambil tersenyum penuh rindu.

Sudah pagi. Minggu yang masih dingin karena ada diantara Sabtu dan masih jauh menuju Senin.

***

Senin, 21 Maret 2011

Kenapa tidak bersama ketika kita sama-sama punya hati yang butuh pasangannya?

"Punya pacar gih sana!" Ucapmu ketika malam sudah terhanyut di tepian sore dan gelap sudah menodong rembulan untuk bersinar terang di langit.

Aku menggenggam tanganmu dalam balutan keringat yang selalu saja kau keluarkan tiap kulit telapak tanganku menyentuh tanganmu. Terdiam. Hanya sanggup menatap wajahmu.

"Jangan kerja melulu. Sok workaholic,deh. Gak pantes tauk!" Protesmu sembari menasehatiku.

"....." Aku masih memilih untuk terdiam dan tak melepaskan genggamanmu di tanganku.

"Kamu nggak capek apa, tiap hari bangun pagi langsung kerja? Sampe kantor belum ada orang. Kerja gila-gilaan sampe sore. temen-temen kamu udah pulang kamu belum. Matahari udah ngilang kamu baru pulang. Nggak capek?" tanyamu padaku. Semakin membutuhkan jawaban.

"Yah, kalo emang kerjaanku banyak gimana? Aku kan harus nyelesain itu semua. Kalu nggak dikerjain, besok pasti bakal dateng kerjaan lagi. Bisa numpuk kan? Mending yang hari ini aku selesein biar nggak ganggun yang besoknya." Aku mencoba membela diriku sendiri.

"Trus hidup kamu cuma berkutat sama kerjaan aja? Pulang langsung tidur. Sekali-sekali bergaul dong." komentarmu.

"Ini kita lagi ngapain coba?" tanyaku sambil menatap matamu yang bulat penuh itu.

"Jangan sama aku terus dong. Cari kenalan lain. Temen-temen kamu yang lain. Siapa tahu bisa dapet pacar. Nanti keasyikan kerja lupa lho sama yang namanya nikah. Jangan kerja terus yah!" ujarmu sambil tersenyum.

"Apa aku masih harus mencari?" tanyaku sembari mengeratkan genggamanku.

Kamu lepaskan genggaman tanganku. Memaksaku untuk mau melakukan itu. Lalu, tanganmu justru memberiku peluk hangat di bahu. Mengusap-usap punggungku sesekali. Kamu tahu benar bahwa air mataku sebentar lagi sudah akan keluar. Menahan kesedihan tentang pencarian itu.

"Kenapa tidak mencari kalau masih ada kesempatan untuk melakukan itu?" tanyamu.

"Bahkan ketika aku merasa sudah menemukannya?" komentarku lirih. Suaraku sudah mulai terisak saat kamu merengkuh tubuhku tenggelam dalam peluk tubuhmu yang hangat.

"Siapa sih yang udah kamu temuin? Apa dia pantas untuk memiliki kamu?" tanyamu. Sesekali bahkan kamu menghapus tetes-tetes air mata yang mengalir begitu saja di kedua pipiku.

"Pertanyaannya bukan itu." jawabku, "Tapi, apakah dia mau memilikiku?" kuberanikan menatap kedua matamu yang sejak tadi tak lekang memandang wajahku yang penuh air mata.

Kamu cuma tersenyum.

"Aku terlalu lelah untuk mencari. Tidak bolehkah aku yang dicari? Aku enggan lagi memberi cinta ketika rasa itu tak pernah mendatangiku. Bahkan, kini aku bingung dengan cinta itu sendiri. Masihkah aku memilikinya dalam hati?" air mataku masih mengalir. Tak ada isak. Tak ada sesak. Tetes-tetes itu mengalir begitu saja.

"Pasti ada. Nanti. Lalu, kamu akan bergandengan tangan dengan kekasihmu. Dan aku akan bergandengan tangan dengan kekasihku. Berempat, kita membahas masa depan." Kamu kini memelukku dengan kedua belah tanganmu.

"Tidak bolehkah kekasihmu dan kekasihku itu tak ada?" tanyaku.

"Kenapa? Mereka harus ada dong supaya kita kehilangan sepi."

"Aku cuma mau ada kamu dan aku."

"Nggak boleh egois." Tangan kirimu mengacak-acak rambut di kepalaku.

"Kalau aku cuma punya sayang buat kamu?"

"Ssst... Aku juga sayang kok sama kamu." ungkapmu.

"Lantas, kenapa kamu tidak bersamaku saja?"

"Karena Tuhan punya rahasia. Kita tak pernah tahu esok."

Sudahlah. Aku tak pernah mengerti tentang keinginan Tuhan. Aku cuma makhluk kecilNya yang menunggu esok datang penuh kebahagiaan karena ingin tahu tentang apa yang terjadi selanjutnya. Apakah karena aku dan kamu sama makanya kita tak bisa bersama? Aku tak pernah paham kenapa hatimu masih selalu ragu saat tubuhmu sanggup mendekapku penuh rasa yang menghangatkan. Biar hati yang memilih ia mau hati yang mana. Walau cinta tak pernah kutahu bagaimana wujudnya, tapi aku tahu bahwa hati punya keberanian sendiri untuk memilih satu hati yang bisa mendampinginya tiap hari. Lalu, sampai detik ini aku masih memilih hatimu. Iya, kamu yang sekarang memelukku di bawah langit malam.

Kamis, 13 Mei 2010

satu warna dunia dalam raga

merupakan kata
yang seringkali terungkap kala keraguan melanda
memberondong menyerang logika menjadi curiga
perlahan mengkerdilkan pernyataan
lebih di luar biasanya



ada sebab dibalik setiap akibat
menjadikan suara yang bergema menjadi satu bentuk premis utuh
kata yang menyudutkan waktu pada sudut ruang sempit dunia
kaku dan semu
itu rindu yang berubah menjadi cemburu

menjadi lebih
membuat kesimpulan pada membabi buta
paksa sadar bukan jalan keluar
tapi biar raga mengarah pada nyata
mengatakan bahwa semua karena rasa
keutuhan dalam jiwa yang berbentuk hati

berjalan dalam diam
sesak diantara tangis
melangkah dalam kegelapan ruang
berharap bentuk yang utuh
mungkin bukan kini
tapi tubuh yang seluruh
menggenggam senyum dalam kepalan

dunia dalam raga itu berwarna merah marun
dunia dalam raga ini berwarna ungu
lalu pada satu waktu warna itu terpadu menjadi satu
entah bagaimana berubah
bilakah bisa tersebut?
***