Jumat, 28 Agustus 2009
Ketika Siang Merindukan Malam
Aku ingin menangis
Tidak! Aku ingin berteriak
Pada ruang dan jarak yang membentang
Membatasi jiwaku untuk menyentuhmu
Padahal sejak lama harap mendesak untuk terkuak
Melekatkan sunyi untuk kau lucuti
Tanya selalu saja menyesakkan
Melantunkan lirik tentang pertemuan aku dan kamu
Walaupun waktu tak jua datangkan peluang
Sejuta mimpi selalu kugantungkan
Menghilangkan kehausan akan sepi
Lepaskan lara yang membelenggu
Ingin kembali pada peraduan
Menemui malam yang bersembunyi di sudut
Perhatikan ragamu yang belum kupeluk
Temukan rahasia pada hasrat di setiap celahmu
Hingga pagi menyambangi bila tangan bertaut
Tidakkah kamu?
Tidak usah lagi beringsut
Benar ini tentang kamu
Kamu yang sempat terpojok di sudut karena aku
*saat ingin sekali pulang
Rabu, 26 Agustus 2009
saat malam gelap dan sepi
Malam ini aku berjalan melangkahkan kakiku sendirian di tepi sebelah kiri jalanan yang tak rata. Gelap dan sepi. Iya, mirip seperti perasaanku yang sedang kututupi. Tetapi, karena aku sedang berhadapan dengan diriku sendiri, aku merasa tak perlu berpura-pura. Aku mampu merasakan gelap dan sepi yang membabi buta, dimana aku bisa saja memutuskan untuk membiarkan air mataku mengalir di pipi menunjukkan pilunya jiwaku. Namun, aku menahannya. Ternyata superego dalam diriku masih sanggup menahan id yang menggebu-gebu. Aku menahan diriku sendiri untuk melepaskan beban yang terendap.
Aku menatap langit agar air dari dalam mataku tidak menetes keluar. Langit yang hitam itu berkelap-kelip karena ada beberapa bintang bertebaran di sana. Lalu, ada bulan sabit yang tampak menggoda karena bentuknya yang sedang tampak sempurna. Aku jadi teringat padanya. Dia yang kurang lebih satu tahun ini tanpa kusadari telah menerangi setiap gelap dan sepiku. Hanya bila kuingin dan kuminta, bukan datang dengan sendirinya dan menawarkan.
Sejak lama aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Tak paham juga tentang sebabnya, karena kesendirian telah lahir dan tumbuh bersama tubuhku. Menjadikanku sebagai manusia yang terlalu sering tidak peduli pada perasaan orang lain, hingga aku sama sekali tidak peka pada kemungkinan datangnya pasangan jiwa. Menyadari bahwa sendirian itu menjemukan, seringkali aku hanya bisa tersenyum di depan cermin yang telah bertahun-tahun menjadi satu-satunya sahabat terbaik.
Lantas, seketika dia datang saat aku sedang berjuang mati-matian untuk membenci laki-laki yang menawarkan cinta. Tertawa, tersenyum, tertawa, dan tersenyum selalu saja menemani setiap kebersamaanku dengannya. Bahagia yang berbunga-bunga menjadikanku tenggelam dalam lautan hati. Dia berhasil melambungkan hatiku dan membuatku benar-benar jatuh hati padanya. Mencurahkan semua keindahan atas nama dirinya yang sama sekali belum pernah kutemui setelah… entah, mungkin 7 tahun lalu. Aku hanya bisa menatap wajahnya melalui situs pertemanan dunia maya yang sedang digandrungi banyak manusia.
“Jejakmu memudar tanpa aku tahu apa warnanya.”
“Kamu melhatnya tanpa warna?”
“Mungkin karena aku buta warna.”
“Lalu, sanggup menatapku dalam kebutaanmu?”
“Aku masih sanggup melihat walau tanpa warna.”
Sejak itu, aku jadi berpikir tentang keutuhan dirimu dalam menyaksikanku. Meragukan tatapanmu ketika melihat aku dengan teropong hatimu. Menyangsikan kebersamaan karena ruang dan waktu yang membatasi pertemuan. Aku masih berjuang dan berlari ke depan meraih mimpi yang ada kamu di dalamnya. Namun, aku mulai berpikir bahwa kamu tak mau menjadi mimpiku yang penuh warna. Kamu suka abu-abu yang membuatku memburu jemu.
“Aku sedang rapuh.”
“Berbagilah. Maka kamu bisa merangkaikan untuk menjadikannya utuh.”
“Bilakah kamu?”
“Walau kita berjarak. Aku masih tetap di sini menemanimu.”
Aku disini, kamu pun masih berada di sana. Walaupun aku tak sanggup menatap, tetapi aku mampu melihat. Jauh dalam lubuk hatiku kamu menjadi cahaya dalam langkahku. Aku masih dalam gelap, tetapi punya terang yang membuat jejakku tampak cukup jelas. Maka, ketika kamu menghilang dan terbang, aku berharap akan masih sanggup menggenggam sisa-sisa perasaan yang sempat kamu tinggalkan sebelum pergi.
“Kamu menunggu?”
“Sudah terlalu lelah rasanya. Bolehkah aku tak lagi menunggu?”
“Iya, harusnya begitu. Nanti akan datang.”
“Kamu?”
“……..”
Menempuhnya hanya butuh waktu sekitar dua belas jam saja. Bisa dibalik seharusnya. Menempuhku hanya butuh waktu sekitar dua belas jam saja. Sepertinya sudah sepantasnya aku menunggu, bukan memburu. Aku tidak akan duduk diam, dunia masih boleh berputar dan hari kupersilakan untuk berganti. Tetapi, aku mengajak diriku sendiri agar tidak lagi menikmati lelah menyelami perasaan dalam jiwa terdalamku. Aku ingin dia yang datang ke hadapan dan menyunggingkan senyumnya yang sudah terlalu lama tidak kutatap.
Sungguh aku sangat tak paham dengan perasaan yang terbersit belakangan ini. Aku tak bisa mendeskripsikan dengan jelas maknanya. Apakah aku tidak lagi peka dengan perasaanku sendiri?
Aku menatap langit agar air dari dalam mataku tidak menetes keluar. Langit yang hitam itu berkelap-kelip karena ada beberapa bintang bertebaran di sana. Lalu, ada bulan sabit yang tampak menggoda karena bentuknya yang sedang tampak sempurna. Aku jadi teringat padanya. Dia yang kurang lebih satu tahun ini tanpa kusadari telah menerangi setiap gelap dan sepiku. Hanya bila kuingin dan kuminta, bukan datang dengan sendirinya dan menawarkan.
Sejak lama aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Tak paham juga tentang sebabnya, karena kesendirian telah lahir dan tumbuh bersama tubuhku. Menjadikanku sebagai manusia yang terlalu sering tidak peduli pada perasaan orang lain, hingga aku sama sekali tidak peka pada kemungkinan datangnya pasangan jiwa. Menyadari bahwa sendirian itu menjemukan, seringkali aku hanya bisa tersenyum di depan cermin yang telah bertahun-tahun menjadi satu-satunya sahabat terbaik.
Lantas, seketika dia datang saat aku sedang berjuang mati-matian untuk membenci laki-laki yang menawarkan cinta. Tertawa, tersenyum, tertawa, dan tersenyum selalu saja menemani setiap kebersamaanku dengannya. Bahagia yang berbunga-bunga menjadikanku tenggelam dalam lautan hati. Dia berhasil melambungkan hatiku dan membuatku benar-benar jatuh hati padanya. Mencurahkan semua keindahan atas nama dirinya yang sama sekali belum pernah kutemui setelah… entah, mungkin 7 tahun lalu. Aku hanya bisa menatap wajahnya melalui situs pertemanan dunia maya yang sedang digandrungi banyak manusia.
“Jejakmu memudar tanpa aku tahu apa warnanya.”
“Kamu melhatnya tanpa warna?”
“Mungkin karena aku buta warna.”
“Lalu, sanggup menatapku dalam kebutaanmu?”
“Aku masih sanggup melihat walau tanpa warna.”
Sejak itu, aku jadi berpikir tentang keutuhan dirimu dalam menyaksikanku. Meragukan tatapanmu ketika melihat aku dengan teropong hatimu. Menyangsikan kebersamaan karena ruang dan waktu yang membatasi pertemuan. Aku masih berjuang dan berlari ke depan meraih mimpi yang ada kamu di dalamnya. Namun, aku mulai berpikir bahwa kamu tak mau menjadi mimpiku yang penuh warna. Kamu suka abu-abu yang membuatku memburu jemu.
“Aku sedang rapuh.”
“Berbagilah. Maka kamu bisa merangkaikan untuk menjadikannya utuh.”
“Bilakah kamu?”
“Walau kita berjarak. Aku masih tetap di sini menemanimu.”
Aku disini, kamu pun masih berada di sana. Walaupun aku tak sanggup menatap, tetapi aku mampu melihat. Jauh dalam lubuk hatiku kamu menjadi cahaya dalam langkahku. Aku masih dalam gelap, tetapi punya terang yang membuat jejakku tampak cukup jelas. Maka, ketika kamu menghilang dan terbang, aku berharap akan masih sanggup menggenggam sisa-sisa perasaan yang sempat kamu tinggalkan sebelum pergi.
“Kamu menunggu?”
“Sudah terlalu lelah rasanya. Bolehkah aku tak lagi menunggu?”
“Iya, harusnya begitu. Nanti akan datang.”
“Kamu?”
“……..”
Menempuhnya hanya butuh waktu sekitar dua belas jam saja. Bisa dibalik seharusnya. Menempuhku hanya butuh waktu sekitar dua belas jam saja. Sepertinya sudah sepantasnya aku menunggu, bukan memburu. Aku tidak akan duduk diam, dunia masih boleh berputar dan hari kupersilakan untuk berganti. Tetapi, aku mengajak diriku sendiri agar tidak lagi menikmati lelah menyelami perasaan dalam jiwa terdalamku. Aku ingin dia yang datang ke hadapan dan menyunggingkan senyumnya yang sudah terlalu lama tidak kutatap.
Sungguh aku sangat tak paham dengan perasaan yang terbersit belakangan ini. Aku tak bisa mendeskripsikan dengan jelas maknanya. Apakah aku tidak lagi peka dengan perasaanku sendiri?
*untuk seseorang yang sedang menghilang untuk menjelma menjadi bulan sabit di langit
13 # HERMES CAFE : Ketika Menemukan Lainnya
Aku segera berlari keluar dari kelas tepat setelah dosen ―perempuan setengah baya yang galaknya amit-amit― itu melangkah keluar pintu. Aku harus cepat-cepat pulang dan bersiap bertemu teman-teman gank kecimpring di Hermes Café pada jam makan siang. Jam 12 berarti setengah jam lagi dan aku masih berada di kampus.
“Triiiiddd!!!” teriak seseorang yang hanya suaranya kudengar.
Aku menghentikan langkahku dengan segera dan menoleh ke arah suara itu memanggil. Djawa berdiri beberapa meter di belakangku dan mengacung-acungkan binder file berwarna hijau milikku.
“Binder lo ketinggalan!” teriaknya.
Dasar dong dong, bisa-bisanya ninggalin binder file catatan kuliah di kelas. Padahal minggu depan si dosen ―perempuan setengah baya yang galaknya amit-amit― berniat memberi kuis yang biasanya susahnya tiada tara. Yah, satu-satunya mata kuliah yang membuatku rajin mencatat dan mendengarkan adalah kuliah dosen tadi. Bagaimana tidak, sudah tiga kali aku tidak lulus mata kuliahnya. Jadi, untuk semester ini aku harus berjuang mati-matian hanya untuk mengemis nilai B pada ibu dosen tercinta.
Langkahku beringsut mendekati tempat Djawa berdiri.
“Tengkyu, Wa.” Binder hijau itu langsung berusaha kurenggut dari tangan Djawa.
“Eh, gue pinjem dong catetan yang tadi.“ Djawa menahan binderku di tangannya.
”Dodol! Lu kagak nyatet?”
”Tadi gue tidur.” Djawa menyengir menampakkan gigi-giginya yang tampak tidak terlalu putih namun tetap berjajar rapih itu.
”Kampret lu! Kagak tobat-tobat juga lu ma dosen nenek sihir itu? Udah sama kayak gue nggak lulus tiga kali berturut-turut tetep aja ndablek!” aku dengan sukses menoyor kepala Djawa yang rambutnya berdiri tegak semua.
”Dasar emak-emak, ngemeng mulu lo! Udah, gue pinjem nih catetan!” Djawa membuka binder fileku dan mencari lembaran catatanku.
”Sebelum minggu depan lo balikin! Kita ada kuis. Gue nggak mau nilai gue ancur lagi gara-gara satu nilai kuis yang tidak memuaskan.” ancamku pada Djawa.
”Gaya lo, Trid! Kayak lo belajar aja besok.” Djawa menyinyir.
“Udah ah. Gue cabut! Kelamaan berantem ma lo bisa nggak pulang gue.” Aku membiarkan Djawa mengobrak-abrik binderku.
“Eh, lo mau kemana sih buru-buru amat? Pacaraan yaaaa???” Djawa mengejekku dengan senyum lebar dan alis yang sengaja dibuat naik beberapa kali.
“Kagaaakkk! Mau begaol gue!”
“Sama kecimpring lo itu?”
“Iyalah. Sama cewek lo juga.” Asiah, salah satu anggota kecimpring adalah pacar baru Djawa setelah aku dan teman-teman yang lain dengan sukses menjodohkan mereka.
*
Setibanya di rumah. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan kemrungsung mengganti pakaian dan meletakkan perlengkapan kuliahku di meja belajar kamar. Tak berapa lama, kekasihku yang seorang pelukis datang menjemput dengan motornya. Aku pun segera keluar rumah untuk segera berangkat ke Hermes Café.
Tepat di luar pagar, pacarku sedang asyik menungguku dengan duduk di atas jok depan motornya. Setengah berlari, aku menghampirinya. Tanpa banyak bicara, aku mengambil helm di tangannya dan segera naik. Pacarku yang seniman itu pun langsung menyalakan mesin motornya dan tancap gas meninggalkan rumah.
Sebenarnya kalau tidak pacarku yang menawarkan, rasanya enggan sekali pergi dengannya. Bahkan, aku juga sering berpikir, kenapa aku bisa pacaran dengan pelukis ini? Seseorang yang jalan pikirannya seringkali berbeda denganku dan membuatku jengah berdiskusi dengannya. Tetapi, entah kenapa hubungan kami tetap saja bertahan walaupun beberapa kali putus-nyambung.
Sangat bosan rasanya sepanjang perjalanan yang dihabiskan dengan pacar hanya terdiam membisu tanpa membicarakan apa-apa. Tidak jauh beda dengan naik ojek, malah kadang-kadang tukang ojek sering mengajak penumpangnya berbincang. Kekasihku ini terlalu pendiam dan menghanyutkan, membuatku seribu kali harus bersabar menghadapinya. Ah, andai saja aku menemukan orang lain yang sedikit saja lebih heboh dari pacarku, aku pasti akan mempertimbangkannya untuk mengisi hatiku.
*
”Pulangnya dijemput nggak?” tanya kekasihku setibanya kami di Hermes Café.
”Nggak usah. Nanti aku minta dianterin aja.” kuserahkan helm berwarna hijau itu ke pacarku yang sama sekali tidak berwajah ramah.
Dia hanya membalas dengan mengangguk. Aku pun meninggalkannya dan segera mengejar anggota kecimpring yang kulihat sedang akan masuk ke pintu café. Sambil menuju ke teman-temanku, aku mencoba melupakan kekasih nan menyebalkan itu. Memasang muka ceria seceria mungkin dan merangkul para kecimpring dengan bersemangat.
Setelah masuk ke tempat yang bergaya Art Deco dimana kami biasa berkumpul ini, aku dan segerombolan Venus berisik langsung memesan minuman pada waiter training aneh yang menjelaskan panjang lebar sejarah kopi jawa. Tak berapa lama setelah pesanan kami dicatat dengan cekatan, aku memperhatikan sekeliling tempat menakjubkan ini, mengagumi keindahannya sambil mencuci mata mencari pengunjung yang mungkin sanggup mengalihkan duniaku. Seperti laki-laki pemabuk kopi.... itu... dia... lagiii??? Omigod! Itu kan temennya Emmy yang kemarin...
Laki-laki yang bernama Chicko itu menghampiri kami dan langsung bergabung bersama di meja kami. Tapi, sebelum kami sempat berbincang, seseorang melangkah mendekati meja kami.
”Misi... Ini ada pesen dari Mas yang ada di sana.” ujar Alvin, waiter training yang tumben jalannya tidak kemayu. Lalu, ia pun menoleh ke meja tempat tiga orang laki-laki sedang berbincang.
Galuh mengambil kertas yang diserahkan oleh waiter menyebalkan itu.
”Baca, Gal!” beberapa diantara kami serempak berteriak pada Dudu.
Chicko hanya terdiam memperhatikan kami.
Galuh pun segera membuka kertas kecil yang disobek asal-asalan itu dan membacanya cukup keras hingga semua di meja ini dapat mendengarnya dengan jelas ;
Tolong telepon saya ya, 08566676766
”Buset dah! Nekat banget nih. Nyuruh-nyuruh kita.” Pia spontan protes.
”Gila deh. Sumpah!” Luckty yang kakaknya Pia pun bersuara.
”Udah telepon aja! Jabanin! Rame-rame ini!” aku pun berkomentar.
Galuh langsung mengambil telepon genggamnya dan menekan angka-angka untuk menghubungi nomor yang tertera di kertas itu.
Serempak kami menengok ke arah meja pemberi kertas itu. Terlihat seorang laki-laki mengangkat sebuah telepon genggam. Sayang, wajahnya tidak tampak, kami hanya bisa melihat tubuh bagian belakangnya. Yah, jelas-jelas itu dia yang sedang mengangkat telepon kami. Mungkin dia yang menyuruh kami menelepon.
"Halo!" ujar suara di seberang telepon.
"Halo!? Siapa ini ya?" ucap Galuh seketika setelah telepon diangkat. Galuh pun langsung menekan tanda loudspeaker agar kami semua bisa mendengar jawaban dari mas-mas di seberang telepon itu.
"Eh, maaf.. Temennya Dedo ya? Dedonya lagi nggak ada, bentar lagi telpon lagi ya?"
"Dedo siapa?" Galuh bersuara semakin kesal.
"Lhah, ini yang nelpon koq malah nanya?" suara di seberang telepon lebih menyebalkan lagi.
"Eh sori ya, mas. Saya baru dapat sebuah kertas untuk menelepon nomer anda. Jadi anda yang harus menjelaskan!"
"Saya nggak tahu dengan apa yang baru anda katakan."
"Begini. Anda memberikan sebuah kertas, sebuah perintah untuk menghubungi nomer telepon yang sedang anda angkat ini..." muka Galuh terlihat memerah.
tuuut, tuuut, tuuut... telepon pun terputus.
“Triiiiddd!!!” teriak seseorang yang hanya suaranya kudengar.
Aku menghentikan langkahku dengan segera dan menoleh ke arah suara itu memanggil. Djawa berdiri beberapa meter di belakangku dan mengacung-acungkan binder file berwarna hijau milikku.
“Binder lo ketinggalan!” teriaknya.
Dasar dong dong, bisa-bisanya ninggalin binder file catatan kuliah di kelas. Padahal minggu depan si dosen ―perempuan setengah baya yang galaknya amit-amit― berniat memberi kuis yang biasanya susahnya tiada tara. Yah, satu-satunya mata kuliah yang membuatku rajin mencatat dan mendengarkan adalah kuliah dosen tadi. Bagaimana tidak, sudah tiga kali aku tidak lulus mata kuliahnya. Jadi, untuk semester ini aku harus berjuang mati-matian hanya untuk mengemis nilai B pada ibu dosen tercinta.
Langkahku beringsut mendekati tempat Djawa berdiri.
“Tengkyu, Wa.” Binder hijau itu langsung berusaha kurenggut dari tangan Djawa.
“Eh, gue pinjem dong catetan yang tadi.“ Djawa menahan binderku di tangannya.
”Dodol! Lu kagak nyatet?”
”Tadi gue tidur.” Djawa menyengir menampakkan gigi-giginya yang tampak tidak terlalu putih namun tetap berjajar rapih itu.
”Kampret lu! Kagak tobat-tobat juga lu ma dosen nenek sihir itu? Udah sama kayak gue nggak lulus tiga kali berturut-turut tetep aja ndablek!” aku dengan sukses menoyor kepala Djawa yang rambutnya berdiri tegak semua.
”Dasar emak-emak, ngemeng mulu lo! Udah, gue pinjem nih catetan!” Djawa membuka binder fileku dan mencari lembaran catatanku.
”Sebelum minggu depan lo balikin! Kita ada kuis. Gue nggak mau nilai gue ancur lagi gara-gara satu nilai kuis yang tidak memuaskan.” ancamku pada Djawa.
”Gaya lo, Trid! Kayak lo belajar aja besok.” Djawa menyinyir.
“Udah ah. Gue cabut! Kelamaan berantem ma lo bisa nggak pulang gue.” Aku membiarkan Djawa mengobrak-abrik binderku.
“Eh, lo mau kemana sih buru-buru amat? Pacaraan yaaaa???” Djawa mengejekku dengan senyum lebar dan alis yang sengaja dibuat naik beberapa kali.
“Kagaaakkk! Mau begaol gue!”
“Sama kecimpring lo itu?”
“Iyalah. Sama cewek lo juga.” Asiah, salah satu anggota kecimpring adalah pacar baru Djawa setelah aku dan teman-teman yang lain dengan sukses menjodohkan mereka.
*
Setibanya di rumah. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan kemrungsung mengganti pakaian dan meletakkan perlengkapan kuliahku di meja belajar kamar. Tak berapa lama, kekasihku yang seorang pelukis datang menjemput dengan motornya. Aku pun segera keluar rumah untuk segera berangkat ke Hermes Café.
Tepat di luar pagar, pacarku sedang asyik menungguku dengan duduk di atas jok depan motornya. Setengah berlari, aku menghampirinya. Tanpa banyak bicara, aku mengambil helm di tangannya dan segera naik. Pacarku yang seniman itu pun langsung menyalakan mesin motornya dan tancap gas meninggalkan rumah.
Sebenarnya kalau tidak pacarku yang menawarkan, rasanya enggan sekali pergi dengannya. Bahkan, aku juga sering berpikir, kenapa aku bisa pacaran dengan pelukis ini? Seseorang yang jalan pikirannya seringkali berbeda denganku dan membuatku jengah berdiskusi dengannya. Tetapi, entah kenapa hubungan kami tetap saja bertahan walaupun beberapa kali putus-nyambung.
Sangat bosan rasanya sepanjang perjalanan yang dihabiskan dengan pacar hanya terdiam membisu tanpa membicarakan apa-apa. Tidak jauh beda dengan naik ojek, malah kadang-kadang tukang ojek sering mengajak penumpangnya berbincang. Kekasihku ini terlalu pendiam dan menghanyutkan, membuatku seribu kali harus bersabar menghadapinya. Ah, andai saja aku menemukan orang lain yang sedikit saja lebih heboh dari pacarku, aku pasti akan mempertimbangkannya untuk mengisi hatiku.
*
”Pulangnya dijemput nggak?” tanya kekasihku setibanya kami di Hermes Café.
”Nggak usah. Nanti aku minta dianterin aja.” kuserahkan helm berwarna hijau itu ke pacarku yang sama sekali tidak berwajah ramah.
Dia hanya membalas dengan mengangguk. Aku pun meninggalkannya dan segera mengejar anggota kecimpring yang kulihat sedang akan masuk ke pintu café. Sambil menuju ke teman-temanku, aku mencoba melupakan kekasih nan menyebalkan itu. Memasang muka ceria seceria mungkin dan merangkul para kecimpring dengan bersemangat.
Setelah masuk ke tempat yang bergaya Art Deco dimana kami biasa berkumpul ini, aku dan segerombolan Venus berisik langsung memesan minuman pada waiter training aneh yang menjelaskan panjang lebar sejarah kopi jawa. Tak berapa lama setelah pesanan kami dicatat dengan cekatan, aku memperhatikan sekeliling tempat menakjubkan ini, mengagumi keindahannya sambil mencuci mata mencari pengunjung yang mungkin sanggup mengalihkan duniaku. Seperti laki-laki pemabuk kopi.... itu... dia... lagiii??? Omigod! Itu kan temennya Emmy yang kemarin...
Laki-laki yang bernama Chicko itu menghampiri kami dan langsung bergabung bersama di meja kami. Tapi, sebelum kami sempat berbincang, seseorang melangkah mendekati meja kami.
”Misi... Ini ada pesen dari Mas yang ada di sana.” ujar Alvin, waiter training yang tumben jalannya tidak kemayu. Lalu, ia pun menoleh ke meja tempat tiga orang laki-laki sedang berbincang.
Galuh mengambil kertas yang diserahkan oleh waiter menyebalkan itu.
”Baca, Gal!” beberapa diantara kami serempak berteriak pada Dudu.
Chicko hanya terdiam memperhatikan kami.
Galuh pun segera membuka kertas kecil yang disobek asal-asalan itu dan membacanya cukup keras hingga semua di meja ini dapat mendengarnya dengan jelas ;
Tolong telepon saya ya, 08566676766
”Buset dah! Nekat banget nih. Nyuruh-nyuruh kita.” Pia spontan protes.
”Gila deh. Sumpah!” Luckty yang kakaknya Pia pun bersuara.
”Udah telepon aja! Jabanin! Rame-rame ini!” aku pun berkomentar.
Galuh langsung mengambil telepon genggamnya dan menekan angka-angka untuk menghubungi nomor yang tertera di kertas itu.
Serempak kami menengok ke arah meja pemberi kertas itu. Terlihat seorang laki-laki mengangkat sebuah telepon genggam. Sayang, wajahnya tidak tampak, kami hanya bisa melihat tubuh bagian belakangnya. Yah, jelas-jelas itu dia yang sedang mengangkat telepon kami. Mungkin dia yang menyuruh kami menelepon.
"Halo!" ujar suara di seberang telepon.
"Halo!? Siapa ini ya?" ucap Galuh seketika setelah telepon diangkat. Galuh pun langsung menekan tanda loudspeaker agar kami semua bisa mendengar jawaban dari mas-mas di seberang telepon itu.
"Eh, maaf.. Temennya Dedo ya? Dedonya lagi nggak ada, bentar lagi telpon lagi ya?"
"Dedo siapa?" Galuh bersuara semakin kesal.
"Lhah, ini yang nelpon koq malah nanya?" suara di seberang telepon lebih menyebalkan lagi.
"Eh sori ya, mas. Saya baru dapat sebuah kertas untuk menelepon nomer anda. Jadi anda yang harus menjelaskan!"
"Saya nggak tahu dengan apa yang baru anda katakan."
"Begini. Anda memberikan sebuah kertas, sebuah perintah untuk menghubungi nomer telepon yang sedang anda angkat ini..." muka Galuh terlihat memerah.
tuuut, tuuut, tuuut... telepon pun terputus.
Sumpah! Laki-laki yang jawab telepon itu nggak jauh beda sama orang dodol yang bolotnya setengah mati. Memberikan sebuah kertas berisi perintah menelepon, tetapi ketika kami menelepon, ternyata dia sungguh menyebalkan dan tulalit jauh melebihi Mbak Welas yang ada di sinetron komedi pada sebuah stasiun televisi. Iya, sinetron yang menceritakan tentang istri yang galak banget sama suami-suaminya itu.
Akhirnya, kami semua tanpa dikomando langsung bangkit dari tempat duduk masing-masing dan bertekad bulat satu tujuan menghampiri meja gerombolan laki-laki itu. Termasuk Chicko yang mungkin dalam hatinya ikut bersimpati dengan kami, EMOSI! Sayangnya, saat kami melangkah, tiba-tiba salah satu diantara tiga laki-laki itu, seseorang yang berbandana beranjak meninggalkan meja. Dia pergi... mengarah ke toilet. SIAL!!!
Ketika berhenti di depan meja itu. Aku langsung menatap pada kedua laki-laki yang tersisa. Djawaaaa????? Omigod!
Djawa tersenyum lebar seperti biasanya, “Kenalin, ini temen baru gue nih baru kenal tadi, namanya Danang.”
“Sebelumnya perkenalkan nama saya Dan Sapar, panggil aja saya Danang. saat ini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Indonesia yang bergerak di bidang air therapy.” Laki-laki itu tampak berbinar-binar dengan senyum dan tampang berwibawanya. Uuuh... lutunaa...
Ooh, ini yang kemarin sempat diceritakan oleh Mbak Menur barista Hermes. Orang MLM yang katanya tak gentar menjaring manusia-manusia dengan kata mutiaranya yang sama sekali tidak menarik itu. Hahaha... tapi, nggak kok. Danang ini menarik sekali. Dia rasanya lebih cocok jadi model daripada salesman.
Tapi... loh, loh, loh... Kenapa beberapa orang kecimpring ini berbisik-bisik menyebutnya sebagai lelaki yang aneh? Padahal kan..
“Galuh. Tadi yang nelpon!” Galuh segera menyebutkan namanya dengan sedikit emosi.
“Pia.”
“Luckty, kakaknya Pia”
“Dwi, panggil aja gue Dudu”
“Emmy.”
“Astrid, temen kuliah Djawa.” ucapku. Dan laki-laki itu pun memandangku dengan tatapan yang membuatku malu.
“Dan gue Asiah.” Lanjut Asiah.
Djawa memperkenalkan Chicko pada Danang, “Danang, ini satu lagi temen gue juga, anak band indie gitu deh.”
“Chicko Handoyo, panggil aja gue Chicko.” ucap Chicko.
“Siiiip.”
Tak berapa lama kemudian, dua orang laki-laki menghampiri meja kami yang ramai sekali ini.
"Nah ini orangnya!" kata Djawa.
"Ada apa ya?" sapa salah satu diantara keduanya dengan muka polos, atau lebih tepatnya sengaja dipolos-poloskan.
"Shit! Pura-pura lagi, ini nih yang punya nomer handphone itu.."
"Wa! Lo ah.."
"Haha, apa lo? Nggak bisa ngeles lo." Djawa dan laki-laki itu saling menimpali.
"Oh, jadi ini orangnya.." ejek Galuh.
”Dedo.” Laki-laki itu cuma senyam-senyum dengan wajahnya yang semakin memerah. Mungkin karena malu.
"Lo semua, pada tau nggak? Ini tuh temen-temen gue," kata Djawa pada dua laki-laki itu.
"Yang ini Galuh, yang barusan berantem di telepon sama gue gara-gara lo. Ini Pia, ini Luckty, ini Dwi atau biasa dipanggil Dudu, Ini Emmy, ini Astrid temen kuliah gue. Dan yang paling spesial: Asiah, temen gue juga, cuma pake spesial, hahaha.." Djawa mengulang perkenalan lagi. Sepertinya laki-laki yang bernama Dedo itu tampak sangat malu. Bayangkan saja, dia sok kenal dengan kami semua, ternyata malah diperkenalkan oleh Djawa.
Tapi, jujur saja aku terpesona dengan laki-laki yang senyumnya menakjubkan itu. Gayanya yang salesman sejati itu membuatku terpana dan berkhayal untuk bisa mengenalnya lebih jauh. Mungkinkah aku jatuh cinta?
**********
cerita ini merupakan cerita berbalas dari Genk Hermes... Cerita sebelum dan sesudah dapat dilihat di grup Gank Hermes...
Langganan:
Postingan (Atom)