Kamis, 18 Juni 2009

_buka mata, hati, dan telinga untuk bisa berbagi rasa, tangis, dan tawa_




Kamu mengambil lagi rokok dan menyalakannya lagi dengan api. Menghisapnya. Memejamkan mata sesaat. Lalu, tak lama kamu pun menghebuskan asap dari mulutmu. Kamu terdiam. Menikmati hisapan demi hisapan rokokmu. Tak ada suara. Tak bicara. Hanya asap yang keluar dari bibirmu seolah mencoba menggambarkan gundahnya jiwa.

Detik, menit, jam, hari, minggu, dan bulan yang kamu lalui terasa begitu membebani. Kehidupan yang sedang kamu alami sedang penuh tekanan. Banyak hal yang harus kamu raih. Ada tumpukan tugas yang harus kamu selesaikan. Beberapa masalah pun membuatmu sibuk dengan diri sendiri.

Kutatap wajahmu, matamu, dan gerak tubuhmu. Ada lelah yang tampak di sana. Cemas, takut, sedih, dan gulana itu yang paling tampak. Fikiran dan hati itu sekarang tampak memikirkan dirinya sendiri. Tidak lagi mampu membuai orang lain dengan keteduhan dan kesediaan mendengarkan segala keluh kesah. Kamu ingin didengar, dilihat, dan dipedulikan. Sedikit saja.

Aku masih mencoba mengamati dari sini. Memandangmu yang tampak kuyu dengan segala beban itu. Tetapi kamu mencoba bertahan, mencoba menyimak dengan baik, karena semua tahu dirimu begitu adanya.

Kamu tetap mendengarkan cerita cintanya, mendengarkan sakit hati yang dialaminya, mendengarkan luka batin yang dideritanya, dan mendengarkan tangis jiwa yang dirasakannya. Tanpa dia tahu tentang apa yang sedang kamu alami.

Aku masih dari jauh menatap.

Kamu bersikap yang tidak biasa ketikan dia meminta saran darimu. Hingga... Kamu menghela nafas sambil membuang abu di ujung rokokmu itu.
"Jalani hidupmu. Coba lupakan itu!" kamu bangkit dari tempat duduk, lalu pergi. Kembali menghisap rokokmu. Untuk kali ini kamu pergi. Bukan tidak peduli. Hanya butuh ruang untuk sendiri.




Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga
(Maliq and D'Essentials-Mata Hati Telinga)





Kamu terlalu banyak mendengar soal cinta. Terlalu banyak manusia yang percaya dengan cinta. Semua orang di sekitarmu menggilai cinta. Seakan hanya kamu yang hanya bisa sadar dengan kebodohan yang dibuat oleh cinta yang gila itu. Seperti tinggal kamu yang sanggup mendengar segala cerita tentang derita cinta itu. Seolah tubuhmu saja yang belum dirasuki racun cinta itu.

Kamu selalu ingin menyelesaikan yang lain selain cinta. Kamu terus berharap bisa mengerjakan hal lain tanpa memikirkan cinta. Kamu terus berpijak pada langkah yang tak hanya mengejar cinta. Kamu terus mencari hikmah dari semua misteri yang tak pernah terpecahkan, tetapi itu bukan cinta. Buatmu, banyak hal yang lebih penting dari sekedar ucapan cinta. Kamu tak sadar bahwa mata, hati, dan telinga pada tubuhmu terlalu terbuka mengenali segala cita-cita lain. Lalu, pada akhirnya, kamu terlalu menutup diri untuk membuka hati pada seorang cinta.

Aku masih mengikutimu. Membuntutimu dari sini. Mencecapi setiap jejakmu yang terlalu rapuh.

Kamu seketika berhenti. Ini pada sebuah hutan luas yang terlalu indah untuk ditakuti. Namun, kamu sendirian. Hingga rasa takut itu menghinggapi kesepianmu. Lalu, kamu mencari sebuah pohon yang paling besar. Terduduk di bawahnya. Mematikan rokokmu. Melingkarkan lututmu, menundukkan kepala. Lantas, kamu mulai menangis.

Aku tetap menatapmu.

Kamu terisak. Perlahan sekali. Hingga di hutan seluas ini pun tak ada yang mendengar. Kamu merasakan keberadaan yang hanya dirimu sendiri. Tak ada yang lain. Tanpa cinta. Tanpa ada tempat untuk berbagi rasa, berbagi tangis, dan berbagi tawa. Kamu mulai menyadari bahwa kamu membutuhkan seseorang. Mulai menyadari bahwa kamu membutuhkan apa yang selama ini orang lain butuhkan dari dirimu.

Aku masih menyaksikanmu.

Pertahanan tegapmu itu seketika runtuh. Kamu tak seteguh itu. Kamu menjadi rapuh.

Lantas, masihkah kamu bisa membuka mati, hati, dan telinga untuk hal lain saja? Tidak pada satu kata itu? Tidak menuju ke perwujudan kata itu?

Aku memperhatikanmu semakin seksama. Berjalan ke arahmu.

Memegang bahumu dan duduk di sampingmu. Diam saja.

Kini, di hutan luas ini. Tempat yang terlalu indah ini. Ada kamu yang sendiri. Ada aku yang sendiri. Ada kita berdua. Di bentangan alam ini ada jejakku di sampingmu, ada langkahku mengiringimu, ada senyumku menemanimu, ada tawaku menghiburmu, dan ada tangisku meratapimu.

Jadi, mari berjalan ke depan sana. Pada tempat yang jauh dan entah berujung dimana. Jangan tengok ke belakang. Jangan takut gelap. Jangan takut terik matahari. Jangan takut rintangan. Bila saja kamu jatuh, aku akan ulurkan tangan. Tidak perlu kita melangkah bersebelahan. Cukup saja kamu tahu bahwa aku ada.

Tidak ada komentar: