Life is full of misery, loneliness, and suffering - and it's all over much too soon. (Woody Allen, 1935) quote
Jumat, 21 November 2008
Tentang Nanda
Senin, 17 November 2008
... dua tahun lagi ...
Kamis, 13 November 2008
Ulas RectoVerso 1
Rabu, 12 November 2008
Ulas RectoVerso 2 : Aku Ada
Selasa, 11 November 2008
PKP RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang
Tersadar Benar
Dia :
Dia sedang apa disana?
Mungkinkah dia sedang tersenyum,
Bilakah dia memeluk bahagia,
Apakah dirinya menemui keindahan?
Ketika dia sedang terdiam dan tak pikirkan apa-apa
Akankah ia mengingat lagi masa lalu?
Mengenang lagi malam yang pernah dilalui bersama
Mengingat tawa yang pernah ia berikan untukku
Merenungi lagi tangis yang pernah ia lihat di mataku
Tersadarkah dia bahwa aku dan dia tak boleh lagi bersama?
Aku:
Aku disini
Sedang tidak tersenyum
Tidak juga sedang memeluk bahagiaku
Walau keindahan telah kutemukan dalam bentuk lain
Jika aku sedang terdiam dan tak pikirkan apa-apa
Aku selalu mengingat masa lalu itu
Mengenang lagi gelap malam yang sesaat pernah kulalui bersamanya
Menangisi lagi senyum yang pernah ia berikan saat melihatku tertawa
Menangis lagi ketika mengingat ia pernah melihatku menangis
Tersadar benar-benar bahwa dia tak boleh lagi bersamanya
Minggu, 09 November 2008
BulBo yang MenYebaLKan
Seseorang yang mencintaimu, akan rela melepaskanmu pergi bila bersamanya kamu tidak bahagia dan ia akan ikut bahagia walau kamu yang dicintainya bahagia bersama orang lain.
Sabtu, 08 November 2008
... sick ...
Sabtu, 01 November 2008
tentang dia yang itu aku
Malam ini di antara ranjang-ranjang yang berjejer dan dibalik pintu terali yang selalu mengurung hari-hari malam di sini, bersama teman-teman yang nasibnya sama sekali tak beruntung. Aku merenungi istri dan anakku, merenungi hidup yang sudah sejak sepuluh tahun lalu tidaklah menyenangkan. Jatuh-bangun duniaku seakan tak pernah berarti dengan keadaan yang tak pernah membaik. Tak pernah ada lagi indah yang menyambangi hari-hari penuh harap. Kepasrahan rasanya mulai menggelayuti dalam relung hati, merelakan saja semua yang sudah digariskan, walaupun pandangan mataku seringkali kabur dan kepalaku rasanya sakit seperti tertusuk-tusuk.
Kini ia sudah berusia 7 tahun dan bersama ibunya yang sudah memilih lelaki lain tanpa ada ijin dariku. Aku memang yang bersalah karena tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik dan menjadi seorang gila. Tapi, aku tak pernah memilih jalan hidup ini. Aku menjadi diri yang tak pernah sanggup menjadikan hidup menjadi lebih berarti dan bermakna untuk kujadikan mimpi. Hidup menjadi terlalu suram nanti, saat aku melihat ke depan sana.
Amarah yang selalu menyesakkan sudah tak lagi meledak. Hidupku dikendalikan obat. Aku bergantung pada obat dan obat menjadi satu-satunya teman terbaikku. Hanya ia satu-satunya sahabat terbaik yang selalu menerimaku
Kemarin, aku menelepon ke rumah dengan uang hasil pekerjaanku sebagai orang suruhan para mantri dan perawat di bangsal. Tapi, ibu tak mau bicara padaku, ia menutup gagang telepon, membantingnya, saat ia tahu aku yang menelepon. Ibu marah. Tidak, ibu kecewa punya anak laki-laki sepertiku. Aku 36 tahun dan aku tak punya apa-apa. Sebenarnya, aku hanya ingin ibu melepasku bila memang ia tidak menerimaku lagi di rumah. Lalu, aku menjadi pasrah untuk keluar dan menjalani hidupku sendirian, memulainya lagi dari nol. Tanpa anak, istri, dan ibu. Aku menjadi aku yang berbekal banyak dari pengalaman setiap orang baik yang kusapa. Mencintai diriku sendiri. Banyak orang lain yang berpesan begitu padaku. Karena aku pantas mencintai diriku yang ternyata bisa menjadi pemimpin diantara teman-teman.
Janjiku, aku tak akan pernah lagi marah, tak kan lagi mencoba mati, tak mau lagi terjebak dalam duniaku sendiri. Aku mau menjadi aku sebagai manusia biasa, walau aku berbeda, walau aku harus menelan obat setiap hari, pagi dan sore. Aku terlalu lelah, aku akan tidur dalam mimpiku yang sesaat, kemudian menjalani lagi hidup yang begitu keras.
_untuk Rix_