Sabtu, 01 November 2008

tentang dia yang itu aku

Malam ini di antara ranjang-ranjang yang berjejer dan dibalik pintu terali yang selalu mengurung hari-hari malam di sini, bersama teman-teman yang nasibnya sama sekali tak beruntung. Aku merenungi istri dan anakku, merenungi hidup yang sudah sejak sepuluh tahun lalu tidaklah menyenangkan. Jatuh-bangun duniaku seakan tak pernah berarti dengan keadaan yang tak pernah membaik. Tak pernah ada lagi indah yang menyambangi hari-hari penuh harap. Kepasrahan rasanya mulai menggelayuti dalam relung hati, merelakan saja semua yang sudah digariskan, walaupun pandangan mataku seringkali kabur dan kepalaku rasanya sakit seperti tertusuk-tusuk.

Kini ia sudah berusia 7 tahun dan bersama ibunya yang sudah memilih lelaki lain tanpa ada ijin dariku. Aku memang yang bersalah karena tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik dan menjadi seorang gila. Tapi, aku tak pernah memilih jalan hidup ini. Aku menjadi diri yang tak pernah sanggup menjadikan hidup menjadi lebih berarti dan bermakna untuk kujadikan mimpi. Hidup menjadi terlalu suram nanti, saat aku melihat ke depan sana.

Amarah yang selalu menyesakkan sudah tak lagi meledak. Hidupku dikendalikan obat. Aku bergantung pada obat dan obat menjadi satu-satunya teman terbaikku. Hanya ia satu-satunya sahabat terbaik yang selalu menerimaku

Kemarin, aku menelepon ke rumah dengan uang hasil pekerjaanku sebagai orang suruhan para mantri dan perawat di bangsal. Tapi, ibu tak mau bicara padaku, ia menutup gagang telepon, membantingnya, saat ia tahu aku yang menelepon. Ibu marah. Tidak, ibu kecewa punya anak laki-laki sepertiku. Aku 36 tahun dan aku tak punya apa-apa. Sebenarnya, aku hanya ingin ibu melepasku bila memang ia tidak menerimaku lagi di rumah. Lalu, aku menjadi pasrah untuk keluar dan menjalani hidupku sendirian, memulainya lagi dari nol. Tanpa anak, istri, dan ibu. Aku menjadi aku yang berbekal banyak dari pengalaman setiap orang baik yang kusapa. Mencintai diriku sendiri. Banyak orang lain yang berpesan begitu padaku. Karena aku pantas mencintai diriku yang ternyata bisa menjadi pemimpin diantara teman-teman.

Janjiku, aku tak akan pernah lagi marah, tak kan lagi mencoba mati, tak mau lagi terjebak dalam duniaku sendiri. Aku mau menjadi aku sebagai manusia biasa, walau aku berbeda, walau aku harus menelan obat setiap hari, pagi dan sore. Aku terlalu lelah, aku akan tidur dalam mimpiku yang sesaat, kemudian menjalani lagi hidup yang begitu keras.

 

_untuk Rix_

Tidak ada komentar: