Jumat, 26 September 2008

First Day

Jam 7 pagi lebih sedikit, temanku udah jemput di depan kost bersama seorang temanku yang lainnya. Aku sudah siap dengan peralatan tempurku, yaitu sebuah backpack pulang kampung dengan isi perabotan untuk 5 hari ke depan, sebuah tas karung berisi buku2 psikologi segede2 gaban, tas kecil berisi gantungan baju dan makanan2, serta sebuah tas ransel khusus untuk laptop. Aku dan teman-teman pun berangkat ke RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang dengan sejuta perasaan gundah gulana.
Setibanya di RSJ, sebenernya aku langsung pengen balik aja ke Jogja dan nggak mo lagi ngelanjutin praktek disana yang sebenernya gak lama-lama banget karena cuman 20 hari. Apa yang aku rasain nggak cuman perasaan takut nggak bisa ngadepin orang-orang yang dianggep sakit jiwa itu tapi juga takut banget ngadepin semua proses yang bakalan kejadian di sana. Yah, bayangin aja tinggal sama 14 orang temen-temen lain dalam satu rumah selama 20 hari... 
Hari pertama, isinya cuman orientasi tempat aja sama seorang psikolog senior di sana yang kebetulan bukanlah supervisorku. Aku ma temen-temen diajakin keliling ke banyak bangsal, baik bangsal W (wanita) dan bangsal P (Pria), walaupun nggak semuanya kita masukin, tapi keliling beberapa bangsal aja udah bikin kaki rasanya pegel banget. Kami dikenalin ke beberapa gerombolan perawat, yang secara umum mereka semua cukup baik dan bersahabat. Tapi sayangnya, bangsal yang bakal jadi daerah jajahan kelompokku baru satu aja yang kita datengin karena waktu tidak memungkinkan lagi.
Selama keliling itu, ada beberapa hal yang menarik, dimana beberapa diantara aku ma temen-temen masih ngerasa takut kalo musti jalan di sekitar orang sakit jiwa, karena takut dicolek, ditanyain, atau bahkan diikutin. 
Aku sih justru lebih banyak ngerasa sedih dan kasian ngeliat beberapa pasien, karena aku berpikir bahwa mereka nggak seharusnya di situ, dan aku jadi bersukur sama ke-normal-an aku saat ini. Rasanya jadi bahagia banget. Padahal sih nggak jarang juga aku ikut ketawa saat denger cerita-cerita pasien. Salah satu pasien sempat ada yang bercerita :
Pasien : "Mbak kenalan dong..." dia melihat ke arahku dan teman-teman dengan wajah sumringahnya.
Aku : menyebutkan namaku sambil tersenyum, "Nama Mas siapa?" tanyaku.
Pasien : "Guntur Wirawan Kardikusuma, bla, bla, bla"
Aku : "Wah, namanya bagus yah... panjang banget... Panggilannya siapa, Mas?"
Pasien : "Guntur, Mbak..." dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mbak, saya ini tahanan politik pendidikan. Saya sempet di penjara loh Mbak. Saya ini masih keluarganya Mbak Tutut, jadi saya pengen banget ketemu sama dia. Saya ini tahanan loh Mbak. Saya ini pemberontak tadinya." Ucapnya sambil setengah berbisik.
Aku : Mengangguk-angguk sok ngerti padahal bingung.
Pasien : "Mbak jangan bilang siapa-siapa ya... Saya Guntur, Mbak. Saya ini.... " Ia lantas mengangkat tangannya dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya di udara seolah-olah sedang menulis sesuatu. "Sst... Rahasia ya, Mbak." 
Aku : Mengangguk-angguk, lalu menutup mulutku rapat-rapat dan seolah menguncinya dengan gembok.

*
Di Unit Perawatan Intensif, aku ma temen-temen sempet ngeliat proses ECT (Electroconvulsive Therapy). Katanya sih banyak yang gak tahan ngeliatnya, tapi nggak tau aku justru penasaran banget kayak apa bentuknya. Ternyata...
Pasien (seorang laki-laki) diikat kaki dan tangannya dengan tali dan sabuk. Lalu, sekujur tubuhnya dipegangi oleh beberapa orang setelah sebelumnya ditutupi selimut. Setelah itu, sebuah mesin khusus dinyalakan dan ada dua buah kabel khusus yang ditempelkan di kepalanya baik sebelah kanan maupun sebelah kiri. Seketika, kepalanya tergeleng-geleng, lalu kabel pun di lepaskan. Kemudian, tiba-tiba badannya mengejang beberapa kali dan pasien berteriak mengaduh tak terkendali. Tubuhnya yang mengejang harus dipegangi, karena katanya akan ada kemungkinan ia mengejang tak terkendali.
Aku jadi berpikir, betapa tidak manusiawinya keadaan itu. Seorang manusia disetrum oleh sebuah alat, disaksikan oleh banyak sekali perawat, dokter muda, dan para calon psikolog. Lalu, seorang perawat menjelaskan proses yang terjadi kepada semua penonton. Dan aku saat itu juga berada dalam keadaan itu, menjadi penonton. Dia (si orang sakit jiwa itu) menjadi objek, layaknya seperti tikus, disaksikan banyak orang. Dan yang menyedihkan, aku sempat berkenalan dengan objek, Dimas, si penderita waham kebesaran. Aku menjadi seorang yang tak beda dari orang lain yang memanfaatkannya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

heh??
disetrum tu orang??!
kayak di tipi-tipi??!
seyeeem...

Anonim mengatakan...

aduh maap,, itu yg diatas kepencet enter duluan.. itu aku,,,