Kamis, 08 Mei 2008

Bila saja Jiwa sadari keberadaan Diri

Bila saja Jiwa sadari keberadaan Diri

Angin sedang berhembus menghantarkan dinginnya mendung yang sebentar lagi akan berubah menjadi tetesan air. Karena hujan sudah menampakkan firasat kehadirannya melalui wajah langit ketika diri mencoba pahami makna semua itu bukan sebagai suatu yang mengancam keberadaan.

Seketika jiwanya menyentuh tanpa diri bisa sadari kenyataannya secara utuh, menyelimuti rasa dingin yang perlahan mulai merasuk ke dalam tulang, karena mimik awan yang begitu menyeramkan. Jiwanya perlahan mulai menyatu menjadi suatu keutuhan yang nampak sebagai wujud bahagia, menawarkan kehangatan akan ketulusan bukan semu. Jiwanya mendampingi hari membuat mata tak lagi melihat kegelapan mendung sebagai suatu yang muram, melainkan memandangnya sebagai pengucapan atas syukur simbol kesejahteraan. Jiwanya membiarkan diri menjadi satu dan meluruh ke dalam jiwa, membentuk suatu keutuhan tubuh yang diinginkan melebur hanyalah satu.

Jiwa dan diri menjadi suatu yang bernama aku namun tetap bermakna kita, karena jiwa dan diri masihlah satu dan satu memiliki perbedaan yang memang terjarak jauh, semua sudah begitu, sehingga mungkin mata lain tak dapat menganggap itu sebagai kesatuan aku, namun melihatnya sebagai jiwa dan diri yang sendiri-sendiri, berada dalam kejauhan arti dan mimpi.

Perlahan, diri sudah memahami jiwa dan diri berpikir bahwa jiwa sudah selalu harapkan kehadiran diri. Namun, semua itu entah dilihat dari mana, oleh siapa, dan ketika apa. Karena bila di runut, mata siapapun tak sanggup lihat aku diantara jiwa dan diri dimanapun dan saat apa pun. Mereka hanyalah sendiri berada dalam kesemuan miliknya pribadi, tanpa bisa menyatu menjadi aku mengaburkan kesemuan menjadi perwujudan yang nyata.

Ada akhir di dalam diri....

Ketika diri pada ujungnya melihat lagi awan sebagai kegelapan di dalam langit yang bersiap menjatuhkan tetesan air menjadikannya kesepian. Maka, ketika itu terjadi, jiwa akan mencair bersama rintikan air dan menjadikannya mengalir tanpa bentuk dan tanpa ruang, lalu meninggalkan diri, bahkan mengering menguap menyerap kebahagiaan dari diri.

Ternyata, diri akan menangis, memiliki kegelapannya sendiri, mengalami kesuramannya sendiri, padahal dia bukan awan yang ada dalam mendungnya langit.

****

Tidak ada komentar: