Tourette syndrome adalah penyakit yang ditemukan pada tahun 1885 dan diberi nama sesuai nama penemunya, yaitu ahli syaraf dari Perancis, Georges Gilles de la Tourette (Dhamayanti, Riandani, & Resna, 2003). Penyakit ini dikarakteristikkan dengan gerak motor dan suara yang berulang-ulang yang sering. Tourette syndrome adalah kelainan saraf yang muncul pada masa kanak-kanak yang dikarakteristikan dengan gerakan motorik dan suara yang berulang serta satu atau lebih tarikan saraf (tic) yang bertambah dan berkurang keparahannya pada jangka waktu tertentu (Schultz, Carter, Gladstone, Scahill, Leckman, Peterson, Zhang, Cohen, & Pauls, 1998). Berdasarkan DSM IV, gerakan saraf terjadi tiba-tiba, sering, berulang, tidak teratur, dicirikan dengan gerakan motor dan vokal (Hoekstra, Kallenberg, Korf, & Minderaa, 2002). Contoh, gerakan saraf yang terjadi seperti kedipan mata yang berulang, mengerutkan hidung, gerakan kepala, tenggorokan mengeluarkan suara batuk dan menggumam. Gerakan saraf umumnya terjadi dalam satu hari, dimana gerakan itu semakin lama bisa semakin bertambah dan berkurang tergantung tingkat keparahannya. Biasanya, pada pasien individual, gerakan saraf ini biasanya bisa berubah, beberapa gerakan saraf menghilang dan hal yang baru muncul pada satu waktu. Dengan meningkatnya usia, simptom dapat menurun tergantung pada intensitas keparahan tipe gerakan saraf. Usia terjadinya gerak saraf ini antara 2 hingga 15 tahun. Gerakan saraf itu berkurang selama tidur dan mungkin dapat ditekan selama periode yang singkat selama penderita sadar.
Pada hampir semua anak, tourette syndrome merupakan gerakan yang berulang, dimana kecemasan, stres, dan kelelahan seringkali meningkatkan terjadinya gerakan syaraf (Bagheri, Kerbeshian, & Burd, 1999). Antara 5 hingga 10 % dari pasien tidka mengalami perubahan atau justru semakin memburuk hingga usia remaja dan dewasa. Pada pasien yang lebih tua, gerakan syaraf cenderung lebih stabil sepanjang waktu, walaupun mungkin bentuk gerakan syaraf baru muncul. Tidak ada cara yang dapat memprediksi bahwa penderita kanak-kanak dapat memiliki prognosis yang lebih buruk.
Bagheri, Kerbeshian, & Burd (1999) menjelaskan bahwa penyakit syaraf dan tourette syndrome biasanya disertai dengan kondisi lain. Tiga kondisi yang menyertai antara lain ADHD (50% penderita tourette syndrome juga menderita ADHD), kesulitan belajar (25-30% dari pasien), dan obsesif-kompulsif (25-40%).
Kriteria diagnosis untuk penyakit Tourette (Bagheri, Kerbeshian, & Burd, 1999):
1. Memiliki lebih dari satu gerak motorik dan satu atau lebih gerak syaraf vokal yang telah muncul pada waktu tertentu selama sakit, walaupun hal itu belum tentu terjadi.
2. Gerak syaraf terjadi pada banyak waktu dalam sehari pada setiap hari atau berselang-seling selama periode waktutertentu selama lebih dari satu tahun, dan selama periode tersebut tidak ada periode waktu yang terbebas dari gerak syaraf selama lebih dari tga bulan.
3. Penyebab yang mengganggu penyakit ini ditandai dengan stres atau ketidaksesuaian sosial, hubungan dengan yang lain yang berkaitan dengan pentingnya area fungsi.
4. Kemunculannya sebelum usia 18 tahun.
5. Hal yang mengganggu tidak tergantung pada pengaruh fisik atau obat-obatan (seperti stimulan) atau kondisi medis umum (seperti penyakit Hutington atau postiviral encephalitis).
Disamping pemberian obat-obatan yang harus terus diberikan, terapi secara psikologis juga harus dilakukan dan diberikan kepada subjek untuk membantu proses pencegahan penyakit tourette syndrome ini agar tidak semakin parah. Intervensi tersebut antara lain:
1. Terapi Perilaku
Program pemberian reinforcement positif menjadi suatu cara yang dapat menolong penyimpangan gerak syaraf. Perilaku target mungkin dikategorisasikan dalam dua kelompok, yaitu defisiensi keahlian, atau area yang secara khusus menjadi konsentrasi untuk melatih keahlian sosial dan akademis, serta perilaku diluar batas, hal ini bertujuan untuk membantu pasien mengurangi frekuensi dari munculnya perilaku yang dimiliki.
Dapat digunakan skala sederhana untuk merangking perilaku yang bermasalah, dibuat dengan dasar pertimbangan respon untuk intervensi. Pendekatan ini dapat membantu anak dengan masalah perkembangan ganda. Untuk anak dengan masalah kronis, skala ini menolong khususnya saat mulai sulit untuk mengetahui seberapa jauh kemajuan yang telah terjadi. Seperti peraturan penting lainnya, orang tua dan guru harus melengkapi tiga rating untuk anak yang menjadi penderita. Data ini, lalu akan dikombinasikan dengan asesmen dari ahli medis yang akan mengetahui dasar keparahan penyakitnya. Skala rating mungkin juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan dalam respon dan intervensi saat melakukan monitoring sepanjang waktu mengenai tingkat keparahan penyakitnya.
2. Pemantauan
Walaupun bukan sesuatu yang darurat, seperti perilaku menyakiti diri sendiri atau keadaan yang tak terduga, terapis dapat mengikuti pasien selama beberapa bulan sebelum melakukan tritmen yang telah dirancang. Beberapa tujuan dari pengobatan tahap pertama adalah untuk : membuat dasar dari simptom yang ada; menemukan hal yang berhubungan dengan kesulitan di sekolah, keluarga, dan hubungan dengan teman; memberikan tes psikologis dan medis; memantau jarak dan fluktuasi simptom yang paling sering; dan membentuk hubungan.
3. Psikoterapi
Sebagai tambahan, terapis harus menggunakan teknik perilaku khusus (seperti hipnoterapi dan relaksasi) dan akan ada alternatif pengobatan lain yang dapat dilakukan (seperti akupuntur dan suplemen diet). Teknik perilaku kognitif yang spesifik dapat dikembangkan untuk digunakan untuk pasien tertentu dengan tourette syndrome.
4. Habit Reversal
Habit reversal terdiri dari beberapa komponen, yaitu pelatihan terhadap kesadaran awareness training) dan pemantauan terhadap diri sendiri, pelatihan relaksasi, prosedur respon pengganti (competing response), manajemen yang berkelanjutan, dan pemantauan terhadap ketidaknyamanan. Penderita akan diberikan hal-hal tersebut sebagai tugas rumah.
5. Supportive Therapy
Dalam kondisi terapi bentuk dukungan ini, penderita memilih topik pembahasan sendiri dalam sesi pertemuan dan fokus terhadap pengalaman, refleksi, dan mengekspresikan perasaan tentang apa yang terjadi di dalam kehidupan dan bagaimana pemecahan masalahnya.
6. Intervensi sekolah
Tetapi akan menjadi lebih baik bila penderita tourette syndrome dapat berinteraksi dengan teman-teman di kelas apabila memang tingkat keparahannya belum terlalu tinggi. Hal ini supaya keparahan penyakitnya tidak bertambah karena membuat penderita merasa mendapat dukungan dan perhatian dari teman-teman di sekolahnya.
7. Hubungan dengan keluarga
Keluarga dapat menolong penderita untuk melawan hal-hal negatif yang dapat mengganggu stabilitas si penderita (Dhamayanti, Riandani, & Resna, 2003). Sejumlah anak-anak yang mengalami kerusakan neuropsychiactirc (saraf) dan keluarganya memang perlu mendapatkan dorongan dan pelayanan terutama mereka yang sedang mengalami pertumbuhan pada saat sekarang ini
8. Psikoedukasi
Dalam hal ini, pemerintah seharusnya memiliki program yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada seluruh masyarakat mengenai kesehatan mental. Program ini dapat menyertakan pihak Departemen Sosial, Departemen Sosial, BKKBN, hingga LSM di bidang-bidang kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah dapat memperkenalkan tiap-tiap penyakit yang ada melalui cara-cara tertentu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan membuat masyarakat lebih memahami dan lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan sebenarnya masyarakat harus memberi dukungan secara moral bagi penderita suatu penyakit, dalam hal ini adalah tourette syndrome untuk mencegah bertambah parahnya penyakit itu. Masyarakat harus diberi tahu bahwa tourette syndrome bukanlah penyakit menular yang perlu ditakutkan.
2 komentar:
artikel psikologi yang bagus, menur. senang kunjungi blog kamu.
thanks,
Bahril Hidayat
Makasi untuk sharingnya...
Saya seorang guru dan sampai saat ini sedang berusaha mencari tambahan informasi untuk mengajar yang lebih baek untuk murid-muridku...
Posting Komentar